Rabu, 09 Februari 2011

APLIKASI TEKNOLOGI REMOTE SENSING (NOAA) DALAM PENENTUAN FISHING GROUND

© 2004  Zudiana     Posted:   12  December, 2004
Makalah Pribadi Falsafah Sains (PPS 702)
Sekolah Pasca Sarjana / S3
Institut Pertanian Bogor
Desember 2004
Dosen:
Prof Dr Ir Rudy C Tarumingkeng, M F (Penanggung Jawab)
Prof. Dr. Ir. Zahrial Coto, M.Sc
Dr. Ir. Hardjanto, M.S

APLIKASI TEKNOLOGI REMOTE SENSING (NOAA)
DALAM PENENTUAN FISHING GROUND

Oleh :
Zudiana
C261020111/SPL
zanadiazld@yahoo.com

Abstrak
  Sumberdaya ikan di perairan Indonesia belum dikelola secara optimal
terutama di perairan Zona Ekonomi Eksklusif Indoensia (ZEEI), tetapi sulit
menentukan daerah potensial sebagai daerah penangkapan ikan (fishing ground)
sehingga diperlukan teknologi penginderaan jarak jauh (digital dan visual citra satelit
NOAA-14/AVHRR) untuk pemanfaatan sumberdaya secara optimal. 
Key words : Fisihing ground dan NOAA-14/AVHRR. 


1. PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Indonesia adalah negara kepulauan yang sangat besar, memiliki perairan laut
dengan luas 5,9 juta km2
 dan sangat kaya akan keanekaragaman hayati. Salah satu
jenis hayati laut yang memiliki nilai ekonomis tinggi karena merupakan komoditas
eksport dan banyak tersebar di perairan Indonesia adalah ikan pelagis, baik dari jenis
ikan pelagis besar maupun ikan pelagis kecil.
Hasil kajian yang dilakukan oleh komisi  ilmiah pengkajian stok ikan  (stock
accessment) menunjukkan bahwa bila sumberdaya ikan di perairan Indonesia
dikelolah secara optimum maka dapat dimanfaatkan  sampai 6,26 juta ton pertahun.
Kenyataannya tingkat pemanfaatan perairan laut Indonesia pada tahun 1997 baru
mencapai 3,5 juta ton pertahun atau sekitar 56% saja dari jumlah keseluruhan. Dari
total potensi yang digambarkan di atas, ikan pelagis memiliki jumlah terbesar yaitu
4,29 juta ton, terdiri dari pelagis kecil 3,23  juta ton dan 1,054 juta ton ikan pelagis
besar.
Di masa yang akan datang, prospek pembangunan perikanan Indonesia
menjadi salah satu kegiatan ekonomi strategis dan dinilai cerah. Hal ini juga
dimungkinkan karena adanya perubahan prilaku masyarakat dunia yang mengalami 
  2
pergeseran pola konsumsi ke produk-produk perikanan dan hasil laut. Di samping itu
keterbatasan kemampuan pasok perikanan dunia akan menjadikan ikan sebagai salah
satu komoditi strategis dunia. Hal ini sangat didukung oleh oleh potensi perikanan
yang dimiliki oleh Indonesia. Hal lain yang semakin mendorong terciptanya
pembangunan perikanan yang berbasis pada kepentingna masyarakat adalah lahirnya
kebijakan pemerintah dalam pengelolaan sumberdaya  perikanan di wilayah perairan
Indonesia dan Zona Ekonomi Eksklusif  Indonesia (ZEEI)
Permasalahan utama yang dihadapi dalam pemanfaatan sumberdaya perikanan
laut Indonesia adalah sulitnya menentukan daerah potensial sebagai lokasi
penangkapan ikan  (fishing ground). Pada umumnya nelayan di Indonesia  masih
menggunakan cara-cara konvensional, yaitu hanya dengan memanfaatkan panca
indera yang dimiliki oleh nelayan. Keterbatasan panca indra nelayan dalam menduga
fishing ground  tidak hanya menyebabkan inefisiensi penggunaan bahan bakar
sebanyak 60%-70%, tetapi juga menyebabkan terkonsentrasinya kapal-kapal
penangkap ikan di lokasi tertentu. Sebagai  akibatnya pada daerah tertentu terjadi
pengeksploitasian secara berlebihan  (over fishing). Jika hal ini dibiarkan terus
menerus dalam jangka waktu tertentu kelestarian sumberdaya perikanan akan
terganggu, sebaliknya pada daerah yang memiliki  potensi ikan yang cukup besar
justru tidak dimanfaatkan secara optimal. Untuk itu perlu disiasati suatu cara agar
kegiatan penangkapan ikan menjadi efektif, yakni dengan memanfaatkan data satelit
penginderaan jarak jauh yang saat ini datanya sudah dapat diperoleh di Indonesia.

1.2 Tujuan
  Pembuatan makalah ini diberikan  untuk menggambarkan peranan penting
perlunya pemanfaatan teknologi remote sensing, dalam upaya pemanfaatan
sumberdaya perikanan secara optimum, khususnya dengan penggunaan data
NOAA/14-AVHRR. Yang dapat diakses dan diolah dengan menggunakan perangkat
lunak (soft ware).
 

2. TEKNOLOGI PENGINDERAAN JARAK JAUH
2.1. Pemanfaatan Penginderaan Jarak Jauh
  Pemanfaatan teknologi penginderaan  jarak jauh dapat dikelompokkan ke
dalam beberapa penggunaan yaitu
1.  untuk membantu eksplorasi sumberdaya alam
2.  Untuk prediksi dan pemantauan perubahan cuaca 
3.  Untuk kepentingan militer dalam menjaga stabilitas bangsa dari ancaman
4.  Untuk keperluan navigasi
5.  Untuk penentuan posisi di permukaan bumi
Khusus untuk penginderaan jarak jauh dalam bidang eksploitasi sumberdaya
perikanan pada saat ini beberapa satelit sedang beroperasi, misalnya satelit sesStar,
satelit TOPEX/Poseidion  (Topografi  Experiment for Ocean Circulation) 1002 dan
satelit OKEAN yang berarti lautan 1995. Untuk satelit seastar merupakan satelit yang
dibiayai dan dioperasikan secara komersial oleh perusahaan swasta yaitu  Orbital 
  3
Science Corporation (OSC) yang berkedudukan di  Dulles. Dengan terpasangnya
peralatan SeaWiFS   (sea Viewing Wide Field of View Sensor) pada satelit seaStar
maka satelit ini akan mampu mengukur pertumbuhan dan konsentasi  fitoplankton
dipermukaan laut.
  Satelit TOPEX-Poseidion yang dikembangkan bersama oleh NASA-JPL USA
dan CNES  (Centre  National d’Etudes Spatiales)  Perancis dapat digunakan untuk
memetakan topografi lautan dan modelisasi perubahan global sirkulasi dan
permukaan laut. Untuk satelit OKEAN/Rusia dioperasikan untuk memantau
temperatur permukaan air laut, keepatan angin, warna laut,  status liputan es, curah
hujan dan liputan awan.
Selain ketiga satelit di atas , satelit cuaca NOAA-USA yang membawa sensor
AVHRR juga dapat dimanfaatkan untuk membantu eksplorasi sumberdaya laut. Citra
satelit yang dihasilkan dapat dianalisis dan dinterpretasikan untuk menentukan  niali
dan distribusi suhu permukaan laut pada perairan yang cukup luas  secara  sinoptik
(meliputi seluruh wilayah Indonesia hanya dalam dua lintasan berurutan). Suhu
permukaan laut ini merupakan salah satu indikator dalam menentukan daerah  fishing
ground. Tingginya frekwensi pengamatan (empat lintasan sehari) dan biaya
operasional yang jauh lebih murah jika dibandingkan dengan cara lainnya merupakan
keunggulan dari pemanfaatan tekhnik penginderaan jarak jauh. Observasi melalui
satelit ini  juga akan sangat berguna untuk pengamatan fenomena oseanografi,
khusunya  upwelling  dan  temprature front  yang merupakan indikator dari daerah
potensi ikan yang tinggi. Diharapkan dengan  tersedianya informasi seperti ini akan
dapat meningkatkan efektivitas   dan efisien penangkapan ikan di laut.

2.2  Tekhnik Pengumpulan Data
Data oseanografi fisika (suhu, salinitas dan arus permukaan) dan biologi
(kelimpahan plankton) merupakan data  sekunder. Laporan tahunan pelabuhan
perikanan yang terdapat pada propinsi Kalimantan Barat, Riau dan Sumatera Selatan,
yaitu PPP pelangkat (Kalbar), PPP Tarempa (Riau) dan PPI manggar (Sumsel)
dianggap telah mewakili daerah penangkapan perikanan di Indonesia sebagai daerah
penelitian. Data citra satelit  NOAA-14/AVHRR diperoleh dari stasiun penerima
NOAA BPP teknologi Jakarta pada koordinan 101o
BT-113o
BT dan 6o
LS-9o
LU pada
musim peralihan satu (Maret-Mei) dan musim Timur (Juni-Agustus). Selain data citra
NOAA data rerata konsentrasi pikmen phytoplankton  (kelimpahan klorofil) dari
satelit SeaWiFS juga digunakan yaitu pada bulan April sampai Juni (musim peralihan
satu) dan Juli-september (musim timur).  
Tahapan pemrosesan analisis digital dan visual citra satelit NOAA-
14/AVHRR adalah :
1.  Pemilihan Citra : Citra hasil perekaman dari stasiun penerima dipilih yang
bebas awan atau citra dengan penutupan  awan sedikit, sehingga tidak
mengurangi informasi dari sebahagian objek yang diteliti. Proses pemilihan
citra dan cropping dilakukan menggunakan perangkat lunak N Capture 3.0
2.  Perhitungan Suhu Permukaan Laut  (SPL) : Kanal yang dipakai untuk
memperoleh nilai SPL adalah kanal 4 dan 5 dari satelit NOAA-14/AVHRR.
Nilai SPL diperoleh melalui konversi bilangan integer 8 bit  (dari citra kanal 4 
  4
dan 5 yang memiliki   digital number  0-255) ke dalam derajat celcius (
o
C)
dengan menggunakan perangkat lunak ILWIS  (Integrated Load and Water
Information System). 









































Mulai
Data Inderaja
NOAA kanal 4, 5
Data sekunder
- Oseanografi
- Data tangkapan ikan
Bebas
Awan
Tidak
Ya
Interpretasi digital dan
manual :
- Cropping
- Penajaman citra
- Formula SPL
- Koreksi geometrik
- Peta
- Grafik
- Tabel
Floting
Peta SPL
Citra digital
Konversi
raster ke
vektor
Layer
Analisis Spasial
Peta Daerah Penangkapan Ikan Potensial
SELESAI
Gambar 1. Teknik Pengumpulan data 
  5



2.3  Kendala Pemanfaatan Teknologi Penginderaan Jarak Jauh di  Indonesia
Pemanfaatan data penginderaan jarak jauh di Indonesia memiliki beberapa
kendala (kutipan makalah Aryo Handoyo dalam Hanggono, 1998) yaitu :
1.  Masalah liputan awan, dimana kita  ketahui bahwa keadaan alam tidak
selamanya sesuai dengan keadaan yang diinginkan sebagai syarat photo dari
citra yang baik.
2.  Kendala mixel (mix-pixel)
3.  Perbedaan renpon spectral dalam objek yang sama pada sebuah citra satelit
4.  Keterbatasan tersedianya data eksogen 
Dalam pemanfaatan data satelit NOAA-12 untuk perhitungan SPL dan
identifikasi data fishing ground. Diantara permasalahan di atas masalah liputan awan
dan ketersediaan data eksogen menjadi kendala utama dalam membantu
mengindetifikasi daerah tersebut. 
  Letak negara Indonesia yang membentang di sepanjang ekuator dalam iklim
tropis ternyata menyebabkan sulitnya perolehan data satelit. Sebagai ilustrasi dalam
SATTIN project (satellite application technologi transfer in Indonesia), upaya untuk
menghasilkan 176 lembar space map (peta  citra) berskala 1:50.000 di wilayah
Indonesia bagian timur, dibutuhkan lebih dari 7000 scenes citra SPOT yang diperoleh
dari satelit SPOT 1,2 dan 4. Dampak dari lliputan awan yang tinggi adalah sulitnya
memperoleh citar (untuk daerah-daerah tertentu) hal ini terutama terjadi pada musim
hujan dengan liputan awan kurang dari 10%. Dalam penangkapan ikan di laut dengan
bantuan satelit penginderaan jauh, kendala umum yang dihadapi adalah keberadaan
daerah fishing ground yang bersifat dinamis/berpindah-pindah mengikuti pergerakan
ikan. Secara alami ikan akan memilih daerah yang lebih sesuai, sedangkan habitat 
tersebut sangat dipengaruhi oleh kondisi oceanografi perairan, sehingga dengan
demikian perlu dilakukan pemanfaatan secara terus menerus dan berkelanjutan.
  Pemanfaatan satelit dengan sensor  optik seperti sateli NOAA-AVHRR juga
sangat terpengaruh dengan liputan awan. Dengan demikian kondisi permukaan laut
tidak dapat dipantau pada saat tertutup  awan. Dengan alasan ini penggunaan data
satelit  yang dihasilkan dengan melalui system pencitraan radar, seperti citra satelit
TOPEX menjadi sangat membantu  dalam mengupayakan estimasi daerah  fishing
ground, yang artinya pengunaan citra ini  akan semakin akurat apabila
dikombinasikan dengan penggunaan satelit lain.
  Data eksogen  yang berupa peta seringkali sangat membantu dalam kegiatan
verifikasi citra, tersedianya peta-peta distribusi salinitas, konsentrasi fitoplankton,
peta sebaran jenis ikan dan lain-lain, akan memudahkan seorang interpreter dalam
melakukan ektraksi informasi dari sebuah citra satelit. Terbatasnya ketersediaan peta-
peta termatik dan informasi lainnya dapat dianggap sebagai salah satu kendala dalam
pemanfaatan citra satelit NOAA-AVHRR di Indonesia

 
  6


3.  HASIL ANALISIS PENGGUNAAN CITRA
3.1. Waktu Akusisi Data Satelit
Satelit NOAA-AVHRR yang mengorbit polar didesain untuk dapat memantau
permukaan bumi dalam skala luas. Satelit NOAA ditargetkan dapat meliputi seluruh
permukaan bumi dengan bergerak dari selatan ke utara pada orbitnya di satu sisi bumi
(ascending pass) dan kebalikannya dari utara ke selatan pada sisi bumi yang lainnya
(descending pass)  Untuk wilayah Indonesia, dalam satu kali liputannya satelit
NOAA-AVHRR dapat mencakup luasan maksimum 2048 pixel. Sebuah pixel citra
satelit NOAA-AVHRR berukuran 1,1 km X 1,1 km. Dengan demikian hanyadalam
satu kali orbita luas daerah Indonesia sebesar 2/3 dapat diliput.
Dalam satu hari kurang lebih 24 jam, groun station  satelit NOAA_AVHRR 
milik BPPT dapat menerima minimal 2 cita dan maksimal 4 citra untuk daerah yang
berbeda yaitu dua data dari  ascending orbit  dan dua citra dari  descending orbit.
Untuk seri satelit NOAA-12 data  ascending   diterima pada sore dan malam hari,
sedangkan data descending diperoleh pada saat subuh dan pagi hari.

3.2. Kondisi Liputan Awan
Sensor AVHRR yang dibawa  oleh satelit NOAA adalah  multi spectral
scanner dengan lima band pada panjang gelombang yang berbeda, mulai dari sinar
tampak dan  far infrared(infrared jauh). Band 2 lebih sesuai digunakan untuk
mengobservasi bumi (dalam bentuk (quick look) pada siang hari. Sedangkan band 3
lebih bagus digunakan untuk menampilkan  quick look  pada malam hari. Dengan
menggunakan kedua band spectral ini kita dapat melihat kondisi/data secara cepat,
sehingga dapat dianalisis dengan cepat termasuk kondisi awan.
Sebagaimana umumnya sensor yang berkerja pada sinar tampak dan infra
merah, sensor AVHRR tidak dapat menembus awan sehingga pada saat mengorbit di
atas lokasi yang tertutup awan sensor AVHRR tidak dapat mendeteksi kondisi
perairan yang ada di bawahnya. Untuk wilayah Indonesia liputan awan terbanyak
umumnya terjadi pada saat musim hujan yang biasanya berlangsung antara bulan
oktober sampai bulan februari. Liputan  awan pada musim hujan  tidak hanya
menutupi wilayah di daratan saja, namun juga wilayah perairan/lautnya. Ada saat
musim hujan bukan hanya daerah yang tertutup awan saja yang tidak dapat diolah
lebih lanjut, tetapi data yang tertutup awan tipis dan daerah bayangan awan  juga
tidak dapat diekstrak informasinya. Sehingga pada periode musim hujan sngat sedikit
citra yang dapat dimanfaatkan untuk dianalisis lebih lanjut menjadi citra suhu
permukaan laut (SPL) yang menjadi dasar pemetaan daerah penagkapan ikan.

3.3. Pemilihan Data
Data terpilih adalah data hasil akusisi, baik pada saat  ascending orbit (data
pada saat sore dan malam hari) maupun data ascending orbit  (data pada saat subuh
dan pagi hari) yang bebas awan atau sedikit berawan pada lokaisi yang sedang 
  7
diamati. Untuk itu ditetapkan kriteria  bahwa citra satelit yang digunakan adalah citra
citra yang tutupan awannya tidak lebih dari 50% untuk masing-masing daerah yang
diamati. Dari data  BPPT sampai pada akhir februari 2002 data satelit NOAA-
AVHRR yang dapat diakusisi mencapai 152 citra (raw data). Data ini merupakan
data akusisi global  yang meliputi daerah Indonesia bagian barat sampai bagian
tengah dengan luas cakupan  2048 pixel. Sekitar 52% data yang dapat diakusisi tadi
tertutup awan, dengan luasan tutupan awan 75% sehingga tidak dapat dimanfaatkan
sama sekali. Sedangkan sisanya sebanyak 75 data lagi dapat dimanfaatkan. Sehingga
dengan demikian kita dapat membuat estimasi manfaat dari penggunaan data ini,
terutam ditinjau dari resiko dalam pengambilan datanya (raw data), contoh data akan
ditampilkan di bawah ini :
Tabel 1. Jumlah data Satelit NOAA-AVHRR Januari-Februari 2000.
 Daerah Pengamatan  Raw Data  Berawan
banyak
Berawan
Sedikit
Barat Sumatera-selat Sunda  44  23  21
Selat jawa dan Laut Jawa  31  22  9
Selat Makasar dan Flores  32  10  22
Nusatenggara dan L Timor  26  16  10
Perairan Kendari dan L. Banda  19  6  13
Jumlah                                     75
Dengan demikian  data terpilih yang ada di atas saja yang akan digunakan
dalam menganalisis daerah potensila  fishing ground. Berdasarkan hasil pengamatan
kendati data yang diberikan ini sudah dapat digunakan, namun beberapa daerah
khususnya daerah terpencil seperti SIBOLGA masih belum menggunkan data ini, hal
ini menjadi salah satu akibat kurangnya sosialisasi terhadap penggunaan data tersebut.

3.4. Peta Daerah Potensi Penangkapan Ikan
Peta  fishing ground  yang ada di daerah Indonesia dibuat berdasarkan
informasi suhu permukaan laut yang merupakan salah satu parameter lingkungan laut
dalam menentukan lokasi  front di wilayah terbuka dan diduga berkaitan dengan
tingkah laku ikan. Informasi ini akan diperoleh dari hasil pemrosesan data satelit
NOAA-AVHRR yang terpilih dan bebas/sedikit dari tutupan awan. Seperti yang
digambarkan dalam proses pengambilan data dan pengolahan data, tahapan-tahapan
diatas telah termasuk tahapan : 
1.  Konversi data mentah menjadi parameter fisis
2.  Koreksi atmosferik
3.  Deteksi dan eliminasi awan
Pada hakekatnya pemrosesan data untuk mendapatkan peta  fishing ground  adalah
pemrosesan data untuk menghasilkan temperatur menggunakan sensor  thermal
infrared AVHRR. 
  Proses lanjutan yang dilakukan sebelum peta potensi tangkapan ikan adalah
tes akurasi algoritma yang digunakan untuk menentukan ketepatan  suhu permukaan
laut (SPL) untuk setiap pixelnya, yang  layak sebagai dasar pemetaan daerah 
  8
tangkapan ikan. Untuk mendukung tuntutan ini, peralatan stasiun bumi penerima data
satelit di BPPT diengkapi dengan  local application of remote sensing techniques
(LARST). Sistem ini terdiri atas sebuah motor  penggerak antara  horn, Sebuah
receiver AVHRR dan dua buah personal komputer dengan card penghubung satelit
dan ekstra  random access memory  (RAM). Dari semua data yang telah dipotong
(yang bebas awan) hanya sebagian saja  yang akan diinterpretasikan dan akan
mendapatkan indikasi front yang digunakan sebagai dasar pendugaan lokasi potensial
untuk daerah penangkapan ikan (fishing ground)
  Data yang telah berisi  informasi indikator dugaan daerah  fishing ground
seperti yang dipaparkan sebelumnya akan ditambahkan dengan informasi lain yang
berasal dari peta topografi  (wilayah perairan) dan data  in-situ lain yang dimiliki,
selanjutnya akan ditampilkan secara kartografis sebagai peta berefrensi geografis.
Data ini akan semakin mudah untuk dipakai oleh masyarakat, khususnya nelayan
yang menangkap ikan pelagis di sepanjang perairan Indonesia. 

3.5. Penggunaan Data  Satelit NOAA dalam Masyarakat Pesisir 
Setelah mendapatkan data dalam bentuk peta kartografi maka diharapkan
data ini dapat diakses keberbagai lapisan masyarakat yang membutuhkannya. Sejauh
yang kita lihat bahwa saat ini masyarakat Indonesia kurang begitu mengenal aplikasi
dan pemanfaatan dari data ini. Hal ini dapat dilihat sebagai salah satu faktor penyebab
keterlambatan majunya dunia perikanan kita, terutama nelayan-nelayan kecil. 
Seperti yang kita ketahui bahwa pemanfaatan teknologi inderaja ini tidak
hanya dipakai oleh negara kita melainkan  juga dinikmati oleh  negara-negara lain.
Kita mengetahui bahwa penggunaan data citra satelit telah memajukan negara-negara
perikanan yang ada di sekitar perairan Indonesia, seperti Thailand yang sering sekali
melakukan pencurian ikan di sekitar perairan kita. Dari sudut pandang inilah
diharapkan pemerintah mau turut membantu penyampaian informasi sampai pada
lapisan paling bawah. Dengan adanya informasi ini maka kehidupan nelayan dapat
lebih ditingkatkan.
Selain kendala dalam sosialisasi data kartografi, kendala teknologi manjadi
salah satu pemicu mengapa pemanfaatan sumberdaya perikanan di negara kita kurang
begitu optimum. Saya coba menggambarkan bahwa di perairan Samudera Hindia
memiliki daerah fishing ground  yang relatif jauh, sehingga dibutuhkan tenaga mesin
kapal yang lebih besar. Hal inilah yang belum dimiliki oleh semua masyarakat
nelayan di kawasan pesisir kita. Thailand mampu melakukan pencurian dan dapat
melarikan diri dari kejaran aparat karena mereka memiliki kemampuan dalam hal
teknologi perkapalan. Dimasa yang akan datang penggunaan citra akan semakin
optimal bila kita bisa memadukannya dengan teknologi kapal yang juga memenuhi
syarat. Ada banyak cara yang bisa kita lakukan untuk memajukan perikanan di
kawasan perairan Indonesia, yang menjadi pertanyaan bagaimana peran serta
pemerintah, lembaga-lembaga masyarakat (LSM) dan bantuan seluruh masyarakat  
untuk saling membantu.
Kendala klasik yang menghambat perkembangan teknologi ini adalah,
paradigma masyarakat pesisir cenderung untuk tidak mau diajari, seperti yang saya
lihat di Sibolga bahwa masyarakat pesisir di Sibolga khususnya nelayan penangkap 
  9
ikan pelagis, tidak mau memanfaatkan data ini karena merasa bahwa diri mereka
telah mampu/pintar dalam hal menangkap ikan. Di sinilah peran serta pemerintah
harus lebih peka lagi dalam menghadapi masyarakat yang terbelakang. Mereka selalu
merasa bahwa teknologi memiliki harga yang sangat mahal, sehingga mereka merasa
dirugikan. Bila mereka berpandangan  lebih jauh bahwa biaya bensin yang mereka
keluarkan untuk mencari daerah fishing ground jauh lebih besar dibandingkan dengan
meminta data peta kartografi daerah fishing ground yang telah tersedia.

4. KESIMPULAN
Dengan semakin berkembangnya teknologi informasi maka diharapkan peran
serta masyarakat untuk mau belajar  mengkonsumsi teknologi tersebut lebih
ditingkatkan. Remote sensing adalah salah satu solusi  yang dapat digunakan dalam
pemanfaatan sumberdaya perikanan kita  secara optimum, karena kita mengetahui
dengan jelas bahwa salah satu kendala pemanfaatan sumberdaya alam kita secara
terpadu adalah kurangnya ketertarikan  kita terhadap dunia teknologi. Salah satu
daerah yang belum menggunakan  data kartografi daerah  fishing ground  adalah
Sibolga. Untuk itu diharapkan kedepannya dengan pemanfaatan teknologi  remote
sensing maka pengembangan produktifitas perikanan khususnya di daerah dapat lebih
ditingkatkan.
NOAA-AVHRR sebagai salah satu alternatif penggunaan  remote sensing
dalam dunia perikanan, dimana dengan adanya satelit NOAA-AVHRR ini diharapkan
kita dapat mengetahui daerah penangkapan ikan, khususnya dengan menggunakan
parameter suhu perairan (SPL). Kita harus menyadari bahwa semua yang ada di dunia
ini tidak sempurna, begitu pula dengan kondisi penggunaan satelit NOAA-AVHRR
yang sangat bergantung pada cuaca. Dengan mengkaji berbagai kelemahan satelit ini,
maka kita mencoba untuk menggabungkan satelit  ini dengan data dari satelit  lain
dalam pengaplikasiannya, sehingga estimasi  tempat yang diberikan lebih mendekati
daerah  fishing ground yang sebenarnya. Sebagai akhir dari tulisan ini, yang menjadi
pertanyaan bagaimana kita mampu menerapkannya serta bagaimana peran serta
pemerintah dalam menghimpun masyarakat pesisir yang sangat majemuk dengan
berbagai idealismenya masing-masing.




DAFTAR PUSTAKA

Hanggono. 1998. Pemanfaatan Teknologi Remote Sensing Dalam Penentuan Daerah
Penangkapan (Fishing Ground) di Indonesia. Makalah Ilmiah.

Thomas M., Lillesand and Ralph W., Kiefer. 1997. Penginderaan Jauh dan
Interpretasi Citra. Gajah Mada University Press.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar