Kamis, 24 Februari 2011

Ekosistem mangrove

Ekosistem Mangrove
_DATE_FORMAT_LC
EKOSISTEM MANGROVE DefinisiMangrove merupakan karakteristik dari bentuk tanaman pantai, estuari atau muara
sungai, dan delta di tempat yang terlindung daerah tropis dan sub tropis. Dengan demikian maka mangrove merupakan
ekosistem yang terdapat di antara daratan dan lautan dan pada kondisi yang sesuai mangrove akan membentuk hutan
yang ekstensif dan produktif.Karena hidupnya di dekat pantai, mangrove sering juga dinamakan hutan pantai, hutan
pasang surut, hutan payau, atau hutan bakau. Istilah bakau itu sendiri dalam bahasa Indonesia merupakan nama dari
salah satu spesies penyusun hutan mangrove yaitu Rhizophora sp. Sehingga dalam percaturan bidang keilmuan untuk
tidak membuat bias antara bakau dan mangrove maka hutan mangrove sudah ditetapkan merupakan istilah baku untuk
menyebutkan hutan yang memiliki karakteristik hidup di daerah pantai.
Berkaitan dengan penggunaan istilah mangrove maka menurut FAO (1982) : mangrove adalah individu jenis tumbuhan
maupun komunitas tumbuhan yang tumbuh di daerah pasang surut. Istilah mangrove merupakan perpaduan dari dua
kata yaitu mangue dan grove. Di Eropa, ahli ekologi menggunakan istilah mangrove untuk menerangkan individu jenis
dan mangal untuk komunitasnya. Hal ini juga dijelaskan oleh Macnae (1968) yang menyatakan bahwa kata nmangrove
seharusnya digunakan untuk individu pohon sedangkan mangal merupakan komunitas dari beberapa jenis tumbuhan.
Hutan mangrove sering disebut hutan bakau atau hutan payau. Dinamakan hutan bakau oleh karena sebagian besar
vegetasinya didominasi oleh jenis bakau, dan disebut hutan payau karena hutannya tumbuh di atas tanah yang selalu
tergenang oleh air payau. Arti mangrove dalam ekologi tumbuhan digunakan untuk semak dan pohon yang tumbuh di
daerah intertidal dan subtidal dangkal di rawa pasang tropika dan subtropika. Tumbuhan ini selalu hijau dan terdiri dari
bermacam-macam campuran apa yang mempunyai nilai ekonomis baik untuk kepentingan rumah tangga (rumah,
perabot) dan industri (pakan ternak, kertas, arang). Wilayah mangrove dicirikan oleh tumbuh-tumbuhan khas mangrove,
terutama jenis-jenis Rhizophora, Bruguiera, Ceriops, Avicennia, Xylocarpus dan Acrostichum (Soerianegara,1993).
Selain itu juga ditemukan jenis-jenis Lumnitzera, Aegiceras, Scyphyphora dan Nypa (Nybakken, 1986; Soerianegara,
1993). Mangrove mempunyai kecenderungan membentuk kerapatan dan keragaman struktur tegakan yang berperan
penting sebagai perangkap endapan dan perlindungan terhadap erosi pantai. Sedimen dan biomassa tumbuhan
mempunyai kaitan erat dalam memelihara efisiensi dan berperan sebagai penyangga antara laut dan daratan,
bertanggung jawab atas kapasitasnya sebagai penyerap energi gelombang dan menghambat intrusi air laut ke daratan.
Selain itu, tumbuhan tingkat tinggi menghasilkan habitat untuk perlindungan bagi hewan-hewan muda dan
permukaannya bermanfaat sebagai substrat perlekatan dan pertumbuhan dari banyak organisme epifit
(Nybakken.1986). Secara umum komunitas hutan, termasuk hutan mangrove memiliki karakteristik fisiognomi yaitu
dinamakan sesuai dengan jenis yang dominan berada di suatu kawasan. Misalnya di suatu kawasan hutan mangrove
yang dominan adalah jenis Rhizophora sp maka hutan tersebut dinamakan hutan mangrove Rhizophora. Secara lebih
luas dalam mendefinisikan hutan mangrove sebaiknya memperhatikan keberadaan lingkungannya termasuk
sumberdaya yang ada. Berkaitan dengan hal tersebut maka Saenger et al. 1983 mendefinisikan sumberdaya mangrove
sebagai :
- Exclusive mangrove, yaitu satu atau lebih jenis pohon atau semak belukar yang hanya tumbuh di habitat mangrove
- Non exclusive mangrove, yaitu setiap jenis tumbuhan yang tumbuh di habitat mangrove, dan keberadaannya tidak
terbatas pada habitat mangrove saja
- Biota, yaitu semua jenis biota yang berasosiasi dengan habitat mangrove
- Proses (abrasi, sedimentasi), yaitu setiap proses yang berperan penting dalam menjaga atau memelihara keberadaan
ekosistem mangrove. Keanekaragaman jenis ekosistem mangrove di Indonesia cukup tinggijika dibandingkan dengan
negara lain di dunia. Jumlah jenis mangrove di Indonesia mencapai 89 yang terdiri dari 35 jenis pohon, 5 jenis terna, 9
jenis perdu, 9 jenis liana, 29 jenis epifit, dan 2 jenis parasit (Nontji, 1987). Dari 35 jenis pohon tersebut, yang umum
dijumpai di pesisir pantai adalah Avicennia sp,Sonneratia sp, Rizophora sp, Bruguiera sp, Xylocarpus sp, Ceriops sp,
dan Excocaria sp. Bentuk vegetasi dan komunitas mangrove terdiri dari 3 zone mangrove berdasarkan distribusi,
karakteristik biologi, kadar garam dan intensitas penggenangan lahan yaitu:
( i) Vegetasi IntiJenis ini membentuk hutan mangrove di daerah zona intertidal yang mampu bertahan terhadap pengaruh
salinitas (garam), yang disebut tumbuhan halophyta. Kebanyakan jenis mangrove mempunyai adaptasi khusus yang
memungkinkan untuk tumbuh dan berkembang dalam substrat/lahan mangrove seperti kemampuan berkembang biak,
toleransi terhadap kadar garam tinggi, kemampuan bertahan terhadap perendaman oleh pasang surut, memiliki
pneumatophore atau akar napas, bersifat sukulentis dan kelenjar yang mengeluarkan garam. Lima jenis mangrove
paling utama adalah Rhizophora mangle. L., R. harrisonii leechman (Rhizoporaceae), Pelliciera rhizophorae triana dan
Planchon (pelliceriaceae), Avicennia germinans L ( Avicenniaceae) dan Laguncularia racemosa L. gaertn.
(Combretaceae). ( ii) Vegetasi marginal Jenis ini biasanya dihubungkan dengan mangrove yang berada di darat, di
rawa musiman, pantai dan/atau habitat mangrove marginal. Meskipun demikian vegetasi ini tetap tergolong mangrove.
Jenis Conocarpus erecta (combretaceae) tidak ditemukan di dalam vegetasi mangrove biasa. Mora oleifera (triana),
Duke (leguminosae) jumlahnya berlimpah-limpah di selatan pantai pasifik, terutama di semenanjung de osa, dimana
mangrove ini berkembang dalam rawa musiman salin (25 promil). Jenis yang lain adalah Annona glabra L.
(Annonaceae), Pterocarpus officinalis jacq. (Leguminosae), Hibiscus tiliaceus L. dan Pavonia spicata killip (Malvaceae).
Jenis pakis-pakisan seperti Acrostichum aureum L. (Polipodiaceae) adalah yang sangat luas penyebarannya di dalam
zone air payau dan merupakan suatu ancaman terhadap semaian bibit untuk regenerasi.(iii) Vegetasi fakultatif
marginalCarapa guianensis (Meliaceae) tumbuh berkembang di daerah dengan kadar garam sekitar 10 promil. Jenis lain
adalah Elaeis oleifera dan Raphia taedigera. Di daerah zone inter-terrestrial dimana pengaruh iklim khatulistiwa semakin
terasa banyak ditumbuhi oleh Melaleuca leucadendron rawa ( e.g. selatan Vietnam). Jenis ini banyak digunakan untuk
Ekologi Laut Tropis
http://web.ipb.ac.id/~dedi_s _PDF_POWERED _PDF_GENERATED 18 May, 2010, 01:54pembangunan oleh manusia. Lugo dan Snedaker (1974) mengidentifkasi dan menggolongkan mangrove menurut enam
jenis kelompok (komunitas) berdasar pada bentuk hutan, proses geologi dan hidrologi. Masing-Masing jenis memiliki
karakteristik satuan lingkungan seperti jenis lahan dan kedalaman, kisaran kadar garam tanah/lahan, dan frekuensi
penggenangan. Masing-masing kelompok mempunyai karakteristik yang sama dalam hal produksi primer, dekomposisi
serasah dan ekspor karbon dengan perbedaan dalam tingkat daur ulang nutrien, dan komponen penyusun
kelompok.Suatu uraian ringkas menyangkut jenis klasifikasi hutan mangrove berdasarkan geomorfologi ditunjukkan
sebagai berikut :1. Overwash mangrove forest
Mangrove merah merupakan jenis yang dominan di pulau ini yang sering dibanjiri dan dibilas oleh pasang, menghasilkan
ekspor bahan organik dengan tingkat yang tinggi. Tinggi pohon maksimum adalah sekitar 7 m.
2. Fringe mangrove forest Mangrove fringe ini ditemukan sepanjang terusan air, digambarkan sepanjang garis pantai
yang tingginya lebih dari rata-rata pasang naik. Ketinggian mangrove maksimum adalah sekitar 10 m. 3. Riverine
mangrove forestKelompok ini mungkin adalah hutan yang tinggi letaknya sepanjang daerah pasang surut sungai dan
teluk, merupakan daerah pembilasan reguler. Ketiga jenis bakau, yaitu putih (Laguncularia racemosa), hitam (Avicennia
germinans) dan mangrove merah (Rhizophora mangle) adalah terdapat di dalamnya. Tingginya rata- rata dapat
mencapai 18-20 m. 4. Basin mangrove forestKelompok ini biasanya adalah jenis yang kerdil terletak di bagian dalam
rawa Karena tekanan runoff terestrial yang menyebabkan terbentuknya cekungan atau terusan ke arah pantai. Bakau
merah terdapat dimana ada pasang surut yang membilas tetapi ke arah yang lebih dekat pulau, mangrove putih dan
hitam lebih mendominasi. Pohon dapat mencapai tinggi 15 m. 5. Hammock forestBiasanya serupa dengan tipe (4) di atas
tetapi mereka ditemukan pada lokasi sedikit lebih tinggi dari area yang melingkupi. Semua jenis ada tetapi tingginya
jarang lebih dari 5 m. 6. Scrub or dwarf forestJenis komunitas ini secara khas ditemukan di pinggiran yang rendah.
Semua dari tiga jenis ditemukan tetapi jarang melebihi 1.5 m ( 4.9 kaki). Nutrient merupakan faktor pembatas. Faktor-
faktor Lingkungan
Beberapa faktor lingkungan yang mempengaruhi pertumbuhan mangrove di suatu lokasi adalah :
- Fisiografi pantai (topografi)
- Pasang (lama, durasi, rentang)
- Gelombang dan arus
- Iklim (cahaya,curah hujan, suhu, angin)
- Salinitas
- Oksigen terlarut
- Tanah
- Hara
Faktor-faktor lingkungan tersebut diuraikan sebagai berikut : A. Fisiografi pantai
Fisiografi pantai dapat mempengaruhi komposisi, distribusi spesies dan lebar hutan mangrove. Pada pantai yang landai,
komposisi ekosistem mangrove lebih beragam jika dibandingkan dengan pantai yang terjal. Hal ini disebabkan karena
pantai landai menyediakan ruang yang lebih luas untuk tumbuhnya mangrove sehingga distribusi spesies menjadi
semakin luas dan lebar. Pada pantai yang terjal komposisi, distribusi dan lebar hutan mangrove lebih kecil karena kontur
yang terjal menyulitkan pohon mangrove untuk tumbuh. B. Pasang
Pasang yang terjadi di kawasan mangrove sangat menentukan zonasi tumbuhan dan komunitas hewan yang
berasosiasi dengan ekosistem mangrove. Secara rinci pengaruh pasang terhadap pertumbuhan mangrove dijelaskan
sebagai berikut:
- Lama pasang :
- Lama terjadinya pasang di kawasan mangrove dapat mempengaruhi perubahan salinitas air dimana salinitas akan
meningkat pada saat pasang dan sebaliknya akan menurun pada saat air laut surut
- Perubahan salinitas yang terjadi sebagai akibat lama terjadinya pasang merupakan faktor pembatas yang
mempengaruhi distribusi spesies secara horizontal.
- Perpindahan massa air antara air tawar dengan air laut mempengaruhi distribusi vertikal organisme
- Durasi pasang :
- Struktur dan kesuburan mangrove di suatu kawasan yang memiliki jenis pasang diurnal, semi diurnal, dan campuran
akan berbeda.
- Komposisi spesies dan distribusi areal yang digenangi berbeda menurut durasi pasang atau frekuensi penggenangan.
Misalnya : penggenagan sepanjang waktu maka jenis yang dominan adalah Rhizophora mucronata dan jenis Bruguiera
serta Xylocarpus kadang-kadang ada.
- Rentang pasang (tinggi pasang):
- Akar tunjang yang dimiliki Rhizophora mucronata menjadi lebih tinggi pada lokasi yang memiliki pasang yang tinggi
dan sebaliknya
- Pneumatophora Sonneratia sp menjadi lebih kuat dan panjang pada lokasi yang memiliki pasang yang tinggi. C.
Gelombang dan Arus
- Gelombang dan arus dapat merubah struktur dan fungsi ekosistem mangrove. Pada lokasi-lokasi yang memiliki
gelombang dan arus yang cukup besar biasanya hutan mangrove mengalami abrasi sehingga terjadi pengurangan
Ekologi Laut Tropis
http://web.ipb.ac.id/~dedi_s _PDF_POWERED _PDF_GENERATED 18 May, 2010, 01:54luasan hutan.
- Gelombang dan arus juga berpengaruh langsung terhadap distribusi spesies misalnya buah atau semai Rhizophora
terbawa gelombang dan arus sampai menemukan substrat yang sesuai untuk menancap dan akhirnya tumbuh.
- Gelombang dan arus berpengaruh tidak langsung terhadap sedimentasi pantai dan pembentukan padatan-padatan
pasir di muara sungai. Terjadinya sedimentasi dan padatan-padatan pasir ini merupakan substrat yang baik untuk
menunjang pertumbuhan mangrove
- Gelombang dan arus mempengaruhi daya tahan organisme akuatik melalui transportasi nutrien-nutrien penting dari
mangrove ke laut. Nutrien-nutrien yang berasal dari hasil dekomposisi serasah maupun yang berasal dari runoff daratan
dan terjebak di hutan mangrove akan terbawa oleh arus dan gelombang ke laut pada saat surut. D. Iklim
Mempengaruhi perkembangan tumbuhan dan perubahan faktor fisik (substrat dan air). Pengaruh iklim terhadap
pertimbuhan mangrove melalui cahaya, curah hujan, suhu, dan angin. Penjelasan mengenai faktor-faktor tersebut
adalah sebagai berikut: 1. Cahaya
- Cahaya berpengaruh terhadap proses fotosintesis, respirasi, fisiologi, dan struktur fisik mangrove
- Intensitas, kualitas, lama (mangrove adalah tumbuhan long day plants yang membutuhkan intensitas cahaya yang
tinggi sehingga sesuai untuk hidup di daerah tropis) pencahayaan mempengaruhi pertumbuhan mangrove
- Laju pertumbuhan tahunan mangrove yang berada di bawah naungan sinar matahari lebih kecil dan sedangkan laju
kematian adalah sebaliknya
- Cahaya berpengaruh terhadap perbungaan dan germinasi dimana tumbuhan yang berada di luar kelompok (gerombol)
akan menghasilkan lebih banyak bunga karena mendapat sinar matahari lebih banyak daripada tumbuhan yang berada
di dalam gerombol. 2. Curah hujan
- Jumlah, lama, dan distribusi hujan mempengaruhi perkembangan tumbuhan mangrove
- Curah hujan yang terjadi mempengaruhi kondisi udara, suhu air, salinitas air dan tanah
- Curah hujan optimum pada suatu lokasi yang dapat mempengaruhi pertumbuhan mangrove adalah yang berada pada
kisaran 1500-3000 mm/tahun 3. Suhu
- Suhu berperan penting dalam proses fisiologis (fotosintesis dan respirasi)
- Produksi daun baru Avicennia marina terjadi pada suhu 18-20C dan jika suhu lebih tinggi maka produksi menjadi
berkurang
- Rhizophora stylosa, Ceriops, Excocaria, Lumnitzera tumbuh optimal pada suhu 26-28C
- Bruguiera tumbuah optimal pada suhu 27C, dan Xylocarpus tumbuh optimal pada suhu 21-26C 4. Angin
- Angin mempengaruhi terjadinya gelombang dan arus
- Angin merupakan agen polinasi dan diseminasi biji sehingga membantu terjadinya proses reproduksi tumbuhan
mangrove
E. Salinitas
- Salinitas optimum yang dibutuhkan mangrove untuk tumbuh berkisar antara 10-30 ppt
- Salinitas secara langsung dapat mempengaruhi laju pertumbuhan dan zonasi mangrove, hal ini terkait dengan
frekuensi penggenangan
- Salinitas air akan meningkat jika pada siang hari cuaca panas dan dalam keadaan pasang
- Salinitas air tanah lebih rendah dari salinitas air F. Oksigen Terlarut
 - Oksigen terlarut berperan penting dalam dekomposisi serasah karena bakteri dan fungsi yang bertindak sebagai dekomposer membutuhkan oksigen untuk kehidupannya.
- Oksigen terlarut juga penting dalam proses respirasi dan fotosintesis 3. Oksigen terlarut berada dalam kondisi tertinggi
pada siang hari dan kondisi terendah pada malam hari G. Substrat
- Karakteristik substrat merupakan faktor pembatas terhadap pertumbuhan mangrove
- Rhizophora mucronata dapat tumbuh baik pada substrat yang dalam/tebal dan berlumpur
- Avicennia marina dan Bruguiera hidup pada tanah lumpur berpasir
 - Tekstur dan konsentrasi ion mempunyai susunan jenis dan kerapatan tegakan Misalnya jika komposisi substrat lebih banyak liat (clay) dan debu (silt) maka tegakan menjadi lebih rapat
- Konsentrasi kation Na>Mg>Ca atau K akan membentuk konfigurasi hutan Avicennia/Sonneratia/Rhizophora/Bruguiera
- Mg>Ca>Na atau K yang ada adalah Nipah
- Ca>Mg, Na atau K yang ada adalah Melauleuca H. Hara
Unsur hara yang terdapat di ekosistem mangrove terdiri dari hara inorganik dan organik.
- Inorganik : P,K,Ca,Mg,Na
 - Organik : Allochtonous dan Autochtonous (fitoplankton, bakteri, alga)

Konservasi

Pengertian Konservasi dan Beberapa Elemennya
            Konservasi berasal dari kata Conservation yang terdiri dari kata con (together) dan servare (keep/save) yang memiliki pengertian mengenai upaya memelihara apa yang kita punya (keep save what you have), namun secara bijaksana (wise use). Ide ini dikemukakan theodore Roosevelt (1902) yang merupakan orang amerika pertama yang mengemukakan tentang konsep konservasi. Konservasi dalam pengertian sekarang sering diterjemahkan sebagai the wise use of nature resource (pemanfaatan sumberdaya alam secara bijaksana). Konservasi juga dapat dipandang dari segi ekonomi dan ekologi dimana konservasi dari segi ekonomi berarti mencoba mengalokasikan sumberdaya alam untuk sekarang, sedangkan dari segi ekologi, konservasi merupakn alokasi sumberdaya alam untuk sekarang dan masa yang akan datang (Utami, 2008).
            Menurut Randal (1982) dalam Utami (2008), menyebutkan bahwa konservasi adalah alokasi sumberdaya alam antar generasi yang optimal secara rasional untuk mencegah kerusakan dan kemusnahan.
            Jika ditinjau dari sudut pandang perikanan ada beberapa sudut pandang yang dapat diketahui untuk wilayah indonesia, salah satunya dapat diketahui dari sudut pandang hukum dan undang-undang no 27 tahun 2007 tentang pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau keci pada bagian ketiga yaitu pasal 28, 29, 30 dan 31 merupakan upaya untuk menjaga kelestarian ekosistem pesisir dan pulau-pulau kecil beserta melindungi sumberdayanya (maarif, 2008).
            Untuk dunia perikanan dan kelautan di indonesia dikenal pula Kawasan Konservasi Laut atau KKL dimana ini merupakan Suatu daerah di laut yang ditetapkan untuk melestarikan sumber daya laut. Di daerah tersebut diatur zona-zona untuk mengatur kegiatan yang dapat dan tidak dapat dilakukan, misalnya pelarangan kegiatan seperti penambangan minyak dan gas bumi, perlindungan ikan, biota laut lain dan ekologinya untuk menjamin perlindungan yang lebih baik (Jospet, 2002). Dalam upaya pelaksanaan dilapang hal-hal yang berkaitan dengan konservasi sangat penting tentunya kerjasama dari berbagi pihak untuk dapat mencapai keberhasilan yang sesuai dengan harapan. Hal tersebut menjadi kan pola kelembagaan menjadi penting dalam upaya mengkoordinir berbagai kalangan pada proses pengelolaan kawasan dalam upaya konservasi.

Bentuk Konservasi
            Ada banyak sekali bentuk konservasi, mulai dari reboisasi dan restorasi dengan cara pembuatan hutan buatan, transplantasi terumbu karang, pembuatan waduk. Hal ini dikarenakan kesadaran akan pentingnya sumberdaya tersebut dalam keberlangsungan hidup dari makhluk dimasa mendatang. Oleh karenanya proses pengeksploitasian sumberdaya alam dan pembangunan yang dilakukan harus disnadarakan pada beberapa hal, seperti menurut Utami (2008) yaitu dengan :
a)    Strategi pembangunan yang sadar akan lingkungan dan dampak ekologi sekecil kecilnya
b)    Suatu politik will se indonesia, yang bertujuan mewujudkan persyaratan kehidupan masyarakat yang lebih baik untuk generasi yang akan datang
c)    Eksploitasi sumberdaya alam didasarkan pada tujuan kelestarian lingkungan dengan prinsip memanen tanpa menghancurkan daya autogenerasinya
d)    Menggunakan hasil pembangunan untuk memperbaiki kerusakan lingkungan akibat proyek pembangunan tadi
e)    Pemakaian yang efisien terhadap sumberdaya alam yang bersifat non renewable

Hal tersebut diatas merupakan upaya penanganan untuk menanggulangi kerusakan akibat ulah pembangunan dan sebagainya.
            Untuk bidang perikanan dapat dilihat dari salah satu netuk penaganan dari upaya pelestarian mangrove, dimana pentingnya hutan mangrove tersebut sebagai zat bioaktif yang dapat dijadikan bahan untuk penanggulangan penyakit bakteri pada budi daya udang windu, Mangrove dapat berfungsi sebagai biofilter serta agen pengikat dan perangkap polusi. Mangrove juga merupakan tempat hidup berbagai jenis gastropoda, ikan, kepiting pemakan detritus dan bivalvia juga ikan pemakan plankton sehingga mangrove berfungsi sebagai biofilter alami. Berbagai jenis ikan, baik yang bersifat herbivora, omnivora, maupun karnivora hidup mencari makan di sekitar mangrove. Melihat fungsi mangrove yang  sangat strategis maka upaya pelestarian mangrove dapat dilakukan dengan cara dikembangkan budi daya sistem
silvo-fishery misalnya untuk pematangan atau penggemukan kepiting bakau, pentokolan benur windu, pendederan nener bandeng, dan pembesaran nila merah. Di perairan sungai di kawasan mangrove dapat dijadikan lahan budi daya ikan dengan sistem karamba apung terutama untuk ikan kakap, kerapu lumpur, nila merah, dan bandeng (Gunarto, 2004).


Selasa, 22 Februari 2011

Hidrogen Sulfida

HIDROGEN SULFIDA (H2S)
Hidrogen sulfida, H2S, adalah gas yang tidak berwarna, beracun, mudah terbakar dan berbau seperti telur busuk. Gas ini dapat timbul dari aktivitas biologis ketika bakteri mengurai bahan organik dalam keadaan tanpa oksigen (aktivitas anaerobik), seperti di rawa, dan saluran pembuangan kotoran. Gas ini juga muncul pada gas yang timbul dari aktivitas gunung berapi dan gas alam.
Hidrogen sulfida merupakan hidrida kovalen yang secara kimiawi terkait dengan air (H2O) karena oksigen dan sulfur berada dalam golongan yang sama di tabel periodik.
Hidrogen sulfida merupakan asam lemah, terpisah dalam larutan aqueous (mengandung air) menjadi kation hidrogen H+ dan anion hidrosulfid HS−:
H2S → HS− + H+
Ka = 1.3×10−7 mol/L; pKa = 6.89.
Ion sulfid, S2−, dikenal dalam bentuk padatan tetapi tidak di dalam larutan aqueous (oksida). Konstanta disosiasi kedua dari hidrogen sulfida sering dinyatakan sekitar 10−13, tetapi sekarang disadari bahwa angka ini merupakan error yang disebabkan oleh oksidasi sulfur dalam larutan alkalin. Estimasi terakhir terbaik untuk pKa2 adalah 19±2[1].
SUMBER H2S
Arus samudra yang kuat membawa air laut dalam yang kaya gizi ke permukaan.  Air tersebut memberi makan tanaman mikroskopik yang disebut fitoplankton, dan kehidupan laut lainnya. Saat tanaman itu mati, mereka tenggelam ke dasar laut dimana bakteri mulai menguraikannya. Oksigen itu langsung dipergunakan dalam proses pembusukan, dan bakteri anaerob mengambil alih. Bakteri-bakteri ini mengeluarkan gas hidrogen sulfida sebagai produk sampingnya.
H2S atau yang lebih sering disebut dengan hidrogen sulfida merupakan senyawa kimia yang berbahaya di perairan, kandungan H2S di perairan akan menyebabkan kematian terhadap udang yang dibudidayakan. Akan tetapi H2S ada di perairan tambak karena di pacu oleh beberapa faktor antara perubahan pH, nitrate, nitrite, suhu, ammoniak.

Sehingga di perlukan sebuah perekayasaan untuk mengindetifikasi pemacu dari timbulnya senyawa H2S di perairan tambak. Sehingga para petani dapat melakukan pengelolan kualitas air secara baik dan bener. Ouput yang diharapkan petani melakukan pengelolaan kualitas air secara baik, sehingga dapat meningkatkan produktifitas tambak.

Hidrogen sulfida (H2S) berasal dari kegiatan dekomposisi protein. Ini muncul dari buangan industri metalurgi dan pekerjaan kimia, pabrik bubur kertas, dan pabrik penyamakan. Penyebab lainnya adalah adanya senyawa sulfat dan sulfur di dalam endapan tanah dan kemudian teroksidasi melalui bantuan bakteri (Boyd, 1986) dan tertrasnfer ke dalam koloum air. Kosentrasi yang bisa menimbulkan kematian ada pada rang 0.4 mg/L (salmon) dan 4 mg/L (carp, tench dan eel). Konsentrasi aman pada konsentrasi kurang dari 0.002 ppm (udang, Van Wyk & Scarpa, 1999).

Toksisitas hidrogen sulfida menurun dengan meningkatnya pH (>8) dan menurunkan suhu, karena mengurangi non disosiasi H2S akan mengurangi tingkat racunnya. Pada pH 7.5 sekitar 14 % beracun, pada pH 7.2 meningkat menjadi 24%, dan pada pH 6.5 mencapai 61%, serta pada pH 6 mencapai 83% dari total sulfida yang terlarut di dalam air (Van Wyk & Scarpa, 1999).
Penurun pH di aquarium terjadi dikarenakan adanya pergantian air pada setiap aquarium, hal ini dilakukan karena nilai amoniak yang cukup tinggi sehingga di perlukan pergantian air akan tetapi setelah pergantian air ternyata pH yang telah turun meningkatkan toksik h2s. Di tambak sesungguhnya perubahan pH dapat terjadi karena masuknya air laut ke tambak saat pasang.

Untuk mengembalikan keseimbangan pH maka dilakukan pengapuran. Penanganan terhadap perubahan pH di dalam kolom air media budidaya bisa dilakukan. Kondisi pH yang menurun akibat adanya hujan bisa dilakukan dengan melakukan pengapuran dengan menggunakan kapur atau dolomit degan dosis 100 - 200 kg/ha (Adhikari, 2003). Penambahan kapur mengembalikan nilai pH yang diinginkan yaitu 8.05 – 7.85 pada aquarium uji, dengan pH tersebut nilai h2s menjadi turun dan menurunkan sifat toksit dari h2s.


Hidrogen Sulfida
Sebagai senyawa kimia, H2S, adalah gas yang tidak berwarna yang memiliki bau yang sangat tidak menyenangkan, banyak seperti itu telur busuk dan sedikit larut dalam air. Dilarutkan dalam air, membentuk asam dwibasa sangat lemah yang kadang-kadang disebut asam hydrosulfuric. Hidrogen sulfida mudah terbakar, dalam kelebihan udara itu terbakar untuk membentuk belerang dioksida dan air, tapi jika tidak cukup oksigen hadir - membentuk unsur belerang dan air.
Hidrogen sulfida ditemukan secara alami dalam gas vulkanik dan dalam beberapa air mineral. Hal ini sering terbentuk selama peluruhan materi hewan. Ini adalah bagian dari banyak bahan bakar karbon dimurnikan, misalnya, gas alam, minyak mentah, dan batubara; itu diperoleh sebagai hasil sampingan dari pemurnian bahan bakar tersebut. Ini dapat dilakukan dengan mereaksikan gas hidrogen dengan sulfur cair atau dengan uap belerang, atau dengan memperlakukan sulfida logam (misalnya, sulfida besi, FeS) dengan asam. Hidrogen sulfida bereaksi dengan ion logam yang paling untuk membentuk sulfida, yang sulfida beberapa logam yang larut dalam air dan memiliki karakteristik warna yang membantu untuk mengidentifikasi logam selama analisis kimia.

Bagaimana digunakan?
gas alam mengandung sampai dengan beberapa persen H2S (g) dan sebagai seperti itu disebut sumur gas asam dari bau busuk ofensif mereka. Gunung berapi juga debit hidrogen sulfida pembusukan anaerobik. dibantu oleh bakteri menghasilkan hidrogen sulfida, yang pada gilirannya, menghasilkan belerang. Proses ini account untuk banyak belerang asli yang ditemukan di alam. Komersial hidrogen sulfida diperoleh dari "asam" sumur gas gas alam. Hidrogen sulfida telah menggunakan beberapa komersial yang penting. Namun, digunakan untuk menghasilkan belerang yang merupakan salah satu elemen penting yang paling komersial. Paparan di lingkungan perumahan dapat berasal dari sumber industri dan pertanian di dekatnya, minyak dan gas, dan pabrik pengolahan limbah, semua diatur secara umum sumber. Namun, paparan sulfida hidrogen dari air minum yang terkontaminasi merupakan rute eksposur sering tidak dilindungi oleh peraturan, terutama pasokan air minum dari air tanah pedesaan. gas Hidrogen sulfida juga terjadi secara alami dalam air tanah beberapa. Hal ini terbentuk dari endapan bawah tanah pengurai bahan organik seperti bahan tanaman membusuk. Hal ini ditemukan di dalam atau sumur dangkal dan juga dapat memasukkan air permukaan melalui mata air, meskipun cepat kabur ke atmosfer. Hidrogen sulfida sering hadir dalam sumur dibor di serpih atau batu pasir, atau batubara dekat atau deposito gambut.

Apa efek tidak sulfida hidrogen terhadap lingkungan?

Hidrogen sulfida dapat korosif terhadap logam seperti besi, baja, tembaga, dan kuningan, dan dapat menyebabkan noda kuning atau hitam di dapur dan perlengkapan kamar mandi. Hal ini dapat menghitamkan dan mengubah rasa minuman dan makanan disiapkan dengan air yang terkontaminasi.

Hidrogen sulfida metode pengurangan:
filter karbon aktif baik jika hidrogen sulfida hadir dalam tingkat rendah. The hidrogen sulfida diserap ke permukaan partikel karbon.
klorinasi Shock dapat mengurangi, tetapi tidak menghilangkan, bakteri hidrogen sulfida yang memproduksi. Ini melibatkan jumlah yang memadai pencampuran bahan kimia yang berbasis klorin dengan air untuk membuat larutan yang mengandung 200 ppm klorin seluruh sistem air. Hal ini kiri dalam sistem selama beberapa jam. Sistem harus memerah dengan air segar ketika proses selesai.
Oksidasi menghilangkan konsentrasi hidrogen sulfida melebihi 6 ppm. Hal ini dapat dilakukan dengan aerasi, klorinasi, ozon, dan kalium permanganat. Harus ada minimal 20 menit dari kontak antara bahan kimia dan air.
filter Oksidator akan bekerja untuk konsentrasi sampai 6 ppm. Filter berisi pasir dengan lapisan mangan dioksida bahwa perubahan gas hidrogen sulfida untuk partikel kecil belerang yang terperangkap di dalam filter.
modifikasi pemanas Air diperlukan saat hidrogen sulfida yang menyebabkan bau yang dalam sistem pemanas air. Mengganti magnesium batang pengendalian korosi dengan yang terbuat dari aluminium atau logam lainnya biasanya memperbaiki situasi.


Rabu, 09 Februari 2011

Susunan dan macam-macam ekosistem

Susunan Dan Macam Ekosistem


Ekosistem merupakan suatu interaksi yang kompleks dan memiliki penyusun yang beragam. Di bumi ada bermacam-macam ekosistem.

1. Susunan Ekosistem
Dilihat dari susunan dan fungsinya, suatu ekosistem tersusun atas komponen sebagai berikut.

a. Komponen autotrof
(Auto = sendiri dan trophikos = menyediakan makan).
Autotrof adalah organisme yang mampu menyediakan/mensintesis makanan sendiri yang berupa bahan organik dari bahan anorganik dengan bantuan energi seperti matahari dan kimia. Komponen autotrof berfungsi sebagai produsen, contohnya tumbuh-tumbuhan hijau.

b. Komponen heterotrof
(Heteros = berbeda, trophikos = makanan).
Heterotrof merupakan organisme yang memanfaatkan bahan-bahan organik sebagai makanannya dan bahan tersebut disediakan oleh organisme lain. Yang tergolong heterotrof adalah manusia, hewan, jamur, dan mikroba.

c. Bahan tak hidup (abiotik)
Bahan tak hidup yaitu komponen fisik dan kimia yang terdiri dari tanah, air, udara, sinar matahari. Bahan tak hidup merupakan medium atau substrat tempat berlangsungnya kehidupan, atau lingkungan tempat hidup.
d. Pengurai (dekomposer)
Pengurai adalah organisme heterotrof yang menguraikan bahan organik yang berasal dari organisme mati (bahan organik kompleks). Organisme pengurai menyerap sebagian hasil penguraian tersebut dan melepaskan bahan-bahan yang sederhana yang dapat digunakan kembali oleh produsen. Termasuk pengurai ini adalah bakteri dan jamur.

2. Macam-macam Ekosistem
Secara garis besar ekosistem dibedakan menjadi ekosistem darat dan ekosistem perairan. Ekosistem perairan dibedakan atas ekosistem air tawar dan ekosistem air Laut.

a. Ekosistem darat
Ekosistem darat ialah ekosistem yang lingkungan fisiknya berupa daratan. Berdasarkan letak geografisnya (garis lintangnya), ekosistem darat dibedakan menjadi beberapa bioma, yaitu sebagai berikut.

1. Bioma gurun
Beberapa Bioma gurun terdapat di daerah tropika (sepanjang garis balik) yang berbatasan dengan padang rumput.

Ciri-ciri bioma gurun adalah gersang dan curah hujan rendah (25 cm/tahun). Suhu slang hari tinggi (bisa mendapai 45°C) sehingga penguapan juga tinggi, sedangkan malam hari suhu sangat rendah (bisa mencapai 0°C). Perbedaan suhu antara siang dan malam sangat besar. Tumbuhan semusim yang terdapat di gurun berukuran kecil. Selain itu, di gurun dijumpai pula tumbuhan menahun berdaun seperti duri contohnya kaktus, atau tak berdaun dan memiliki akar panjang serta mempunyai jaringan untuk menyimpan air. Hewan yang hidup di gurun antara lain rodentia, ular, kadal, katak, dan kalajengking.

2. Bioma padang rumput
Bioma ini terdapat di daerah yang terbentang dari daerah tropik ke subtropik. Ciri-cirinya adalah curah hujan kurang lebih 25-30 cm per tahun dan hujan turun tidak teratur. Porositas (peresapan air) tinggi dan drainase (aliran air) cepat. Tumbuhan yang ada terdiri atas tumbuhan terna (herbs) dan rumput yang keduanya tergantung pada kelembapan. Hewannya antara lain: bison, zebra, singa, anjing liar, serigala, gajah, jerapah, kangguru, serangga, tikus dan ular

3. Bioma Hutan Basah
Bioma Hutan Basah terdapat di daerah tropika dan subtropik.
Ciri-cirinya adalah, curah hujan 200-225 cm per tahun. Species pepohonan relatif banyak, jenisnya berbeda antara satu dengan yang lainnya tergantung letak geografisnya. Tinggi pohon utama antara 20-40 m, cabang-cabang pohon tinngi dan berdaun lebat hingga membentuk tudung (kanopi). Dalam hutan basah terjadi perubahan iklim mikro (iklim yang langsung terdapat di sekitar organisme). Daerah tudung cukup mendapat sinar matahari. Variasi suhu dan kelembapan tinggi/besar; suhu sepanjang hari sekitar 25°C. Dalam hutan basah tropika sering terdapat tumbuhan khas, yaitu liana (rotan), kaktus, dan anggrek sebagai epifit. Hewannya antara lain, kera, burung, badak, babi hutan, harimau, dan burung hantu.

4. Bioma hutan gugur
Bioma hutan gugur terdapat di daerah beriklim sedang,
Ciri-cirinya adalah curah hujan merata sepanjang tahun. Terdapat di daerah yang mengalami empat musim (dingin, semi, panas, dan gugur). Jenis pohon sedikit (10 s/d 20) dan tidak terlalu rapat. Hewannya antara lain rusa, beruang, rubah, bajing, burung pelatuk, dan rakoon (sebangsa luwak).

5. Bioma taiga
Bioma taiga terdapat di belahan bumi sebelah utara dan di pegunungan daerah tropik. Ciri-cirinya adalah suhu di musim dingin rendah. Biasanya taiga merupakan hutan yang tersusun atas satu spesies seperti konifer, pinus, dap sejenisnya. Semak dan tumbuhan basah sedikit sekali. Hewannya antara lain moose, beruang hitam, ajag, dan burung-burung yang bermigrasi ke selatan pada musim gugur.
6. Bioma tundra
Bioma tundra terdapat di belahan bumi sebelah utara di dalam lingkaran kutub utara dan terdapat di puncak-puncak gunung tinggi. Pertumbuhan tanaman di daerah ini hanya 60 hari. Contoh tumbuhan yang dominan adalah Sphagnum, liken, tumbuhan biji semusim, tumbuhan kayu yang pendek, dan rumput. Pada umumnya, tumbuhannya mampu beradaptasi dengan keadaan yang dingin.

Hewan yang hidup di daerah ini ada yang menetap dan ada yang datang pada musim panas, semuanya berdarah panas. Hewan yang menetap memiliki rambut atau bulu yang tebal, contohnya muscox, rusa kutub, beruang kutub, dan insekta terutama nyamuk dan lalat hitam.
b. Ekosistem Air Tawar
Ciri-ciri ekosistem air tawar antara lain variasi suhu tidak menyolok, penetrasi cahaya kurang, dan terpengaruh oleh iklim dan cuaca. Macam tumbuhan yang terbanyak adalah jenis ganggang, sedangkan lainnya tumbuhan biji. Hampir semua filum hewan terdapat dalam air tawar. Organisme yang hidup di air tawar pada umumnya telah beradaptasi.
Adaptasi organisme air tawar adalah sebagai berikut.

Adaptasi tumbuhan
Tumbuhan yang hidup di air tawar biasanya bersel satu dan dinding selnya kuat seperti beberapa alga biru dan alga hijau. Air masuk ke dalam sel hingga maksimum dan akan berhenti sendiri. Tumbuhan tingkat tinggi, seperti teratai (Nymphaea gigantea), mempunyai akar jangkar (akar sulur). Hewan dan tumbuhan rendah yang hidup di habitat air, tekanan osmosisnya sama dengan tekanan osmosis lingkungan atau isotonis.

Adaptasi hewan
Ekosistem air tawar dihuni oleh nekton. Nekton merupakan hewan yang bergerak aktif dengan menggunakan otot yang kuat. Hewan tingkat tinggi yang hidup di ekosistem air tawar, misalnya ikan, dalam mengatasi perbedaan tekanan osmosis melakukan osmoregulasi untuk memelihara keseimbangan air dalam tubuhnya melalui sistem ekskresi, insang, dan pencernaan.

Habitat air tawar merupakan perantara habitat laut dan habitat darat. Penggolongan organisme dalam air dapat berdasarkan aliran energi dan kebiasaan hidup.

1. Berdasarkan aliran energi, organisme dibagi menjadi autotrof (tumbuhan), dan fagotrof (makrokonsumen), yaitu karnivora predator, parasit, dan saprotrof atau organisme yang hidup pada substrat sisa-sisa organisme.

2. Berdasarkan kebiasaan hidup, organisme dibedakan sebagai berikut.
a. Plankton;
terdiri alas fitoplankton dan zooplankton;
biasanya melayang-layang (bergerak pasif) mengikuti gerak aliran air.
b. Nekton;
hewan yang aktif berenang dalam air, misalnya ikan.
c. Neuston;
organisme yang mengapung atau berenang di permukaan air atau
bertempat pada permukaan air, misalnya serangga air.
d. Perifiton; merupakan tumbuhan atau hewan yang melekat/bergantung
pada tumbuhan atau benda lain, misalnya keong.
e. Bentos; hewan dan tumbuhan yang hidup di dasar atau hidup pada
endapan. Bentos dapat sessil (melekat) atau bergerak bebas,
misalnya cacing dan remis. Lihat Gambar.

Ekosistem air tawar digolongkan menjadi air tenang dan air mengalir. Termasuk ekosistem air tenang adalah danau dan rawa, termasuk ekosistem air mengalir adalah sungai.

1. Danau
Danau merupakan suatu badan air yang menggenang dan luasnya mulai dari beberapa meter persegi hingga ratusan meter persegi.


Gbr. Berbagai Organisme Air Tawar
Berdasarkan Cara Hidupnya

Di danau terdapat pembagian daerah berdasarkan penetrasi cahaya matahari. Daerah yang dapat ditembus cahaya matahari sehingga terjadi fotosintesis disebut daerah fotik. Daerah yang tidak tertembus cahaya matahari disebut daerah afotik. Di danau juga terdapat daerah perubahan temperatur yang drastis atau termoklin. Termoklin memisahkan daerah yang hangat di atas dengan daerah dingin di dasar.

Komunitas tumbuhan dan hewan tersebar di danau sesuai dengan kedalaman dan jaraknya dari tepi. Berdasarkan hal tersebut danau dibagi menjadi 4 daerah sebagai berikut.
a) Daerah litoral
Daerah ini merupakan daerah dangkal. Cahaya matahari menembus dengan optimal. Air yang hangat berdekatan dengan tepi. Tumbuhannya merupakan tumbuhan air yang berakar dan daunnya ada yang mencuat ke atas permukaan air.

Komunitas organisme sangat beragam termasuk jenis-jenis ganggang yang melekat (khususnya diatom), berbagai siput dan remis, serangga, krustacea, ikan, amfibi, reptilia air dan semi air seperti kura-kura dan ular, itik dan angsa, dan beberapa mamalia yang sering mencari makan di danau.
b. Daerah limnetik
Daerah ini merupakan daerah air bebas yang jauh dari tepi dan masih
dapat ditembus sinar matahari. Daerah ini dihuni oleh berbagai
fitoplankton, termasuk ganggang dan sianobakteri. Ganggang
berfotosintesis dan bereproduksi dengan kecepatan tinggi selama
musim panas dan musim semi.

Zooplankton yang sebagian besar termasuk Rotifera dan udang-
udangan kecil memangsa fitoplankton. Zooplankton dimakan oleh ikan-
ikan kecil. Ikan kecil dimangsa oleh ikan yang lebih besar, kemudian
ikan besar dimangsa ular, kura-kura, dan burung pemakan ikan.

c. Daerah profundal
Daerah ini merupakan daerah yang dalam, yaitu daerah afotik danau.
Mikroba dan organisme lain menggunakan oksigen untuk respirasi
seluler setelah mendekomposisi detritus yang jatuh dari daerah
limnetik. Daerah ini dihuni oleh cacing dan mikroba.

d. Daerah bentik
Daerah ini merupakan daerah dasar danau tempat terdapatnya bentos
dan sisa-sisa organisme mati.

Gbr. Empat Daerah Utama Pada Danau Air Tawar

Danau juga dapat dikelompokkan berdasarkan produksi materi organik-nya, yaitu sebagai berikut :

a. Danau Oligotropik
Oligotropik merupakan sebutan untuk danau yang dalam dan
kekurangan makanan, karena fitoplankton di daerah limnetik tidak
produktif. Ciricirinya, airnya jernih sekali, dihuni oleh sedikit organisme,
dan di dasar air banyak terdapat oksigen sepanjang tahun.

b. Danau Eutropik
Eutropik merupakan sebutan untuk danau yang dangkal dan kaya akan
kandungan makanan, karena fitoplankton sangat produktif. Ciri-cirinya
adalah airnya keruh, terdapat bermacam-macam organisme, dan
oksigen terdapat di daerah profundal.

Danau oligotrofik dapat berkembang menjadi danau eutrofik akibat adanya materi-materi organik yang masuk dan endapan. Perubahan ini juga dapat dipercepat oleh aktivitas manusia, misalnya dari sisa-sisa pupuk buatan pertanian dan timbunan sampah kota yang memperkaya danau dengan buangan sejumlah nitrogen dan fosfor. Akibatnya terjadi peledakan populasi ganggang atau blooming, sehingga terjadi produksi detritus yang berlebihan yang akhirnya menghabiskan suplai oksigen di danau tersebut.

Pengkayaan danau seperti ini disebut "eutrofikasi". Eutrofikasi membuat air tidak dapat digunakan lagi dan mengurangi nilai keindahan danau.
2. Sungai
Sungai adalah suatu badan air yang mengalir ke satu arah. Air sungai dingin dan jernih serta mengandung sedikit sedimen dan makanan. Aliran air dan gelombang secara konstan memberikan oksigen pada air. Suhu air bervariasi sesuai dengan ketinggian dan garis lintang.

Komunitas yang berada di sungai berbeda dengan danau. Air sungai yang mengalir deras tidak mendukung keberadaan komunitas plankton untuk berdiam diri, karena akan terbawa arus. Sebagai gantinya terjadi fotosintesis dari ganggang yang melekat dan tanaman berakar, sehingga dapat mendukung rantai makanan.

Komposisi komunitas hewan juga berbeda antara sungai, anak sungai, dan hilir. Di anak sungai sering dijumpai Man air tawar. Di hilir sering dijumpai ikan kucing dan gurame. Beberapa sungai besar dihuni oleh berbagai kura-kura dan ular. Khusus sungai di daerah tropis, dihuni oleh buaya dan lumba-lumba.

Organisme sungai dapat bertahan tidak terbawa arus karena mengalami adaptasi evolusioner. Misalnya bertubuh tipis dorsoventral dan dapat melekat pada batu.

Beberapa jenis serangga yang hidup di sisi-sisi hilir menghuni habitat kecil yang bebas dari pusaran air.
c. Ekosistem air laut

Ekosistem air laut dibedakan atas lautan, pantai, estuari, dan terumbu karang.
1. Laut
Habitat laut (oseanik) ditandai oleh salinitas (kadar garam) yang tinggi dengan ion CI- mencapai 55% terutama di daerah laut tropik, karena suhunya tinggi dan penguapan besar. Di daerah tropik, suhu laut sekitar 25°C. Perbedaan suhu bagian atas dan bawah tinggi. Batas antara lapisan air yang panas di bagian atas dengan air yang dingin di bagian bawah disebut daerah termoklin.

Di daerah dingin, suhu air laut merata sehingga air dapat bercampur, maka daerah permukaan laut tetap subur dan banyak plankton serta ikan. Gerakan air dari pantai ke tengah menyebabkan air bagian atas turun ke bawah dan sebaliknya, sehingga memungkinkan terbentuknya rantai makanan yang berlangsung balk. Habitat laut dapat dibedakan berdasarkan kedalamannya dan wilayah permukaannya secara horizontal.

1. Menurut kedalamannya, ekosistem air laut dibagi sebagai berikut.
a. Litoral merupakan daerah yang berbatasan dengan darat.
b. Neretik merupakan daerah yang masih dapat ditembus cahaya
matahari sampai bagian dasar dalamnya ± 300 meter.
c. Batial merupakan daerah yang dalamnya berkisar antara 200-2500 m
d. Abisal merupakan daerah yang lebih jauh dan lebih dalam dari
pantai (1.500-10.000 m).
2. Menurut wilayah permukaannya secara horizontal, berturut-turut dari
tepi laut semakin ke tengah, laut dibedakan sebagai berikut.
a. Epipelagik merupakan daerah antara permukaan dengan kedalaman
air sekitar 200 m.
b. Mesopelagik merupakan daerah dibawah epipelagik dengan kedalam
an 200-1000 m. Hewannya misalnya ikan hiu.
c. Batiopelagik merupakan daerah lereng benua dengan kedalaman
200-2.500 m. Hewan yang hidup di daerah ini misalnya gurita.
d. Abisalpelagik merupakan daerah dengan kedalaman mencapai
4.000m; tidak terdapat tumbuhan tetapi hewan masih ada. Sinar
matahari tidak mampu menembus daerah ini.
e. Hadal pelagik merupakan bagian laut terdalam (dasar). Kedalaman
lebih dari 6.000 m. Di bagian ini biasanya terdapat lele laut dan
ikan Taut yang dapat mengeluarkan cahaya. Sebagai produsen di
tempat ini adalah bakteri yang bersimbiosis dengan karang
tertentu.

Di laut, hewan dan tumbuhan tingkat rendah memiliki tekanan osmosis sel yang hampir sama dengan tekanan osmosis air laut. Hewan tingkat tinggi beradaptasi dengan cara banyak minum air, pengeluaran urin sedikit, dan pengeluaran air dengan cara osmosis melalui insang. Garam yang berlebihan diekskresikan melalui insang secara aktif.

2. Ekosistem pantai
Ekosistem pantai letaknya berbatasan dengan ekosistem darat, laut, dan daerah pasang surut.

Ekosistem pantai dipengaruhi oleh siklus harian pasang surut laut. Organisme yang hidup di pantai memiliki adaptasi struktural sehingga dapat melekat erat di substrat keras.

Daerah paling atas pantai hanya terendam saat pasang naik tinggi. Daerah ini dihuni oleh beberapa jenis ganggang, moluska, dan remis yang menjadi konsumsi bagi kepiting dan burung pantai.

Daerah tengah pantai terendam saat pasang tinggi dan pasang rendah. Daerah ini dihuni oleh ganggang, porifera, anemon laut, remis dan kerang, siput herbivora dan karnivora, kepiting, landak laut, bintang laut, dan ikan-ikan kecil.

Daerah pantai terdalam terendam saat air pasang maupun surut. Daerah ini dihuni oleh beragam invertebrata dan ikan serta rumput laut.

Komunitas tumbuhan berturut-turut dari daerah pasang surut ke arah darat dibedakan sebagai berikut.

1. Formasi pes caprae
Dinamakan demikian karena yang paling banyak tumbuh di gundukan pasir adalah tumbuhan Ipomoea pes caprae yang tahan terhadap hempasan gelombang dan angin; tumbuhan ini menjalar dan berdaun tebal. Tumbuhan lainnya adalah Spinifex littorius (rumput angin), Vigna, Euphorbia atoto, dan Canaualia martina. Lebih ke arah darat lagi ditumbuhi Crinum asiaticum (bakung), Pandanus tectorius (pandan), dan Scaeuola Fruescens (babakoan).

2. Formasi baringtonia
Daerah ini didominasi tumbuhan baringtonia, termasuk di dalamnya Wedelia, Thespesia, Terminalia, Guettarda, dan Erythrina.

Bila tanah di daerah pasang surut berlumpur, maka kawasan ini berupa hutan bakau yang memiliki akar napas. Akar napas merupakan adaptasi tumbuhan di daerah berlumpur yang kurang oksigen. Selain berfungsi untuk mengambil oksigen, akar ini juga dapat digunakan sebagai penahan dari pasang surut gelombang. Yang termasuk tumbuhan di hutan bakau antara lain Nypa, Acathus, Rhizophora, dan Cerbera.

Jika tanah pasang surut tidak terlalu basah, pohon yang sering tumbuh adalah: Heriticra, Lumnitzera, Acgicras, dan Cylocarpus.
3. Estuari
Estuari (muara) merupakan tempat bersatunya sungai dengan laut. Estuari sering dipagari oleh lempengan lumpur intertidal yang luas atau rawa garam.

Salinitas air berubah secara bertahap mulai dari daerah air tawar ke laut. Salinitas ini juga dipengaruhi oleh siklus harian dengan pasang surut aimya. Nutrien dari sungai memperkaya estuari.

Komunitas tumbuhan yang hidup di estuari antara lain rumput rawa garam, ganggang, dan fitoplankton. Komunitas hewannya antara lain berbagai cacing, kerang, kepiting, dan ikan. Bahkan ada beberapa invertebrata laut dan ikan laut yang menjadikan estuari sebagai tempat kawin atau bermigrasi untuk menuju habitat air tawar. Estuari juga merupakan tempat mencari makan bagi vertebrata semi air, yaitu unggas air.

APLIKASI TEKNOLOGI REMOTE SENSING (NOAA) DALAM PENENTUAN FISHING GROUND

© 2004  Zudiana     Posted:   12  December, 2004
Makalah Pribadi Falsafah Sains (PPS 702)
Sekolah Pasca Sarjana / S3
Institut Pertanian Bogor
Desember 2004
Dosen:
Prof Dr Ir Rudy C Tarumingkeng, M F (Penanggung Jawab)
Prof. Dr. Ir. Zahrial Coto, M.Sc
Dr. Ir. Hardjanto, M.S

APLIKASI TEKNOLOGI REMOTE SENSING (NOAA)
DALAM PENENTUAN FISHING GROUND

Oleh :
Zudiana
C261020111/SPL
zanadiazld@yahoo.com

Abstrak
  Sumberdaya ikan di perairan Indonesia belum dikelola secara optimal
terutama di perairan Zona Ekonomi Eksklusif Indoensia (ZEEI), tetapi sulit
menentukan daerah potensial sebagai daerah penangkapan ikan (fishing ground)
sehingga diperlukan teknologi penginderaan jarak jauh (digital dan visual citra satelit
NOAA-14/AVHRR) untuk pemanfaatan sumberdaya secara optimal. 
Key words : Fisihing ground dan NOAA-14/AVHRR. 


1. PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Indonesia adalah negara kepulauan yang sangat besar, memiliki perairan laut
dengan luas 5,9 juta km2
 dan sangat kaya akan keanekaragaman hayati. Salah satu
jenis hayati laut yang memiliki nilai ekonomis tinggi karena merupakan komoditas
eksport dan banyak tersebar di perairan Indonesia adalah ikan pelagis, baik dari jenis
ikan pelagis besar maupun ikan pelagis kecil.
Hasil kajian yang dilakukan oleh komisi  ilmiah pengkajian stok ikan  (stock
accessment) menunjukkan bahwa bila sumberdaya ikan di perairan Indonesia
dikelolah secara optimum maka dapat dimanfaatkan  sampai 6,26 juta ton pertahun.
Kenyataannya tingkat pemanfaatan perairan laut Indonesia pada tahun 1997 baru
mencapai 3,5 juta ton pertahun atau sekitar 56% saja dari jumlah keseluruhan. Dari
total potensi yang digambarkan di atas, ikan pelagis memiliki jumlah terbesar yaitu
4,29 juta ton, terdiri dari pelagis kecil 3,23  juta ton dan 1,054 juta ton ikan pelagis
besar.
Di masa yang akan datang, prospek pembangunan perikanan Indonesia
menjadi salah satu kegiatan ekonomi strategis dan dinilai cerah. Hal ini juga
dimungkinkan karena adanya perubahan prilaku masyarakat dunia yang mengalami 
  2
pergeseran pola konsumsi ke produk-produk perikanan dan hasil laut. Di samping itu
keterbatasan kemampuan pasok perikanan dunia akan menjadikan ikan sebagai salah
satu komoditi strategis dunia. Hal ini sangat didukung oleh oleh potensi perikanan
yang dimiliki oleh Indonesia. Hal lain yang semakin mendorong terciptanya
pembangunan perikanan yang berbasis pada kepentingna masyarakat adalah lahirnya
kebijakan pemerintah dalam pengelolaan sumberdaya  perikanan di wilayah perairan
Indonesia dan Zona Ekonomi Eksklusif  Indonesia (ZEEI)
Permasalahan utama yang dihadapi dalam pemanfaatan sumberdaya perikanan
laut Indonesia adalah sulitnya menentukan daerah potensial sebagai lokasi
penangkapan ikan  (fishing ground). Pada umumnya nelayan di Indonesia  masih
menggunakan cara-cara konvensional, yaitu hanya dengan memanfaatkan panca
indera yang dimiliki oleh nelayan. Keterbatasan panca indra nelayan dalam menduga
fishing ground  tidak hanya menyebabkan inefisiensi penggunaan bahan bakar
sebanyak 60%-70%, tetapi juga menyebabkan terkonsentrasinya kapal-kapal
penangkap ikan di lokasi tertentu. Sebagai  akibatnya pada daerah tertentu terjadi
pengeksploitasian secara berlebihan  (over fishing). Jika hal ini dibiarkan terus
menerus dalam jangka waktu tertentu kelestarian sumberdaya perikanan akan
terganggu, sebaliknya pada daerah yang memiliki  potensi ikan yang cukup besar
justru tidak dimanfaatkan secara optimal. Untuk itu perlu disiasati suatu cara agar
kegiatan penangkapan ikan menjadi efektif, yakni dengan memanfaatkan data satelit
penginderaan jarak jauh yang saat ini datanya sudah dapat diperoleh di Indonesia.

1.2 Tujuan
  Pembuatan makalah ini diberikan  untuk menggambarkan peranan penting
perlunya pemanfaatan teknologi remote sensing, dalam upaya pemanfaatan
sumberdaya perikanan secara optimum, khususnya dengan penggunaan data
NOAA/14-AVHRR. Yang dapat diakses dan diolah dengan menggunakan perangkat
lunak (soft ware).
 

2. TEKNOLOGI PENGINDERAAN JARAK JAUH
2.1. Pemanfaatan Penginderaan Jarak Jauh
  Pemanfaatan teknologi penginderaan  jarak jauh dapat dikelompokkan ke
dalam beberapa penggunaan yaitu
1.  untuk membantu eksplorasi sumberdaya alam
2.  Untuk prediksi dan pemantauan perubahan cuaca 
3.  Untuk kepentingan militer dalam menjaga stabilitas bangsa dari ancaman
4.  Untuk keperluan navigasi
5.  Untuk penentuan posisi di permukaan bumi
Khusus untuk penginderaan jarak jauh dalam bidang eksploitasi sumberdaya
perikanan pada saat ini beberapa satelit sedang beroperasi, misalnya satelit sesStar,
satelit TOPEX/Poseidion  (Topografi  Experiment for Ocean Circulation) 1002 dan
satelit OKEAN yang berarti lautan 1995. Untuk satelit seastar merupakan satelit yang
dibiayai dan dioperasikan secara komersial oleh perusahaan swasta yaitu  Orbital 
  3
Science Corporation (OSC) yang berkedudukan di  Dulles. Dengan terpasangnya
peralatan SeaWiFS   (sea Viewing Wide Field of View Sensor) pada satelit seaStar
maka satelit ini akan mampu mengukur pertumbuhan dan konsentasi  fitoplankton
dipermukaan laut.
  Satelit TOPEX-Poseidion yang dikembangkan bersama oleh NASA-JPL USA
dan CNES  (Centre  National d’Etudes Spatiales)  Perancis dapat digunakan untuk
memetakan topografi lautan dan modelisasi perubahan global sirkulasi dan
permukaan laut. Untuk satelit OKEAN/Rusia dioperasikan untuk memantau
temperatur permukaan air laut, keepatan angin, warna laut,  status liputan es, curah
hujan dan liputan awan.
Selain ketiga satelit di atas , satelit cuaca NOAA-USA yang membawa sensor
AVHRR juga dapat dimanfaatkan untuk membantu eksplorasi sumberdaya laut. Citra
satelit yang dihasilkan dapat dianalisis dan dinterpretasikan untuk menentukan  niali
dan distribusi suhu permukaan laut pada perairan yang cukup luas  secara  sinoptik
(meliputi seluruh wilayah Indonesia hanya dalam dua lintasan berurutan). Suhu
permukaan laut ini merupakan salah satu indikator dalam menentukan daerah  fishing
ground. Tingginya frekwensi pengamatan (empat lintasan sehari) dan biaya
operasional yang jauh lebih murah jika dibandingkan dengan cara lainnya merupakan
keunggulan dari pemanfaatan tekhnik penginderaan jarak jauh. Observasi melalui
satelit ini  juga akan sangat berguna untuk pengamatan fenomena oseanografi,
khusunya  upwelling  dan  temprature front  yang merupakan indikator dari daerah
potensi ikan yang tinggi. Diharapkan dengan  tersedianya informasi seperti ini akan
dapat meningkatkan efektivitas   dan efisien penangkapan ikan di laut.

2.2  Tekhnik Pengumpulan Data
Data oseanografi fisika (suhu, salinitas dan arus permukaan) dan biologi
(kelimpahan plankton) merupakan data  sekunder. Laporan tahunan pelabuhan
perikanan yang terdapat pada propinsi Kalimantan Barat, Riau dan Sumatera Selatan,
yaitu PPP pelangkat (Kalbar), PPP Tarempa (Riau) dan PPI manggar (Sumsel)
dianggap telah mewakili daerah penangkapan perikanan di Indonesia sebagai daerah
penelitian. Data citra satelit  NOAA-14/AVHRR diperoleh dari stasiun penerima
NOAA BPP teknologi Jakarta pada koordinan 101o
BT-113o
BT dan 6o
LS-9o
LU pada
musim peralihan satu (Maret-Mei) dan musim Timur (Juni-Agustus). Selain data citra
NOAA data rerata konsentrasi pikmen phytoplankton  (kelimpahan klorofil) dari
satelit SeaWiFS juga digunakan yaitu pada bulan April sampai Juni (musim peralihan
satu) dan Juli-september (musim timur).  
Tahapan pemrosesan analisis digital dan visual citra satelit NOAA-
14/AVHRR adalah :
1.  Pemilihan Citra : Citra hasil perekaman dari stasiun penerima dipilih yang
bebas awan atau citra dengan penutupan  awan sedikit, sehingga tidak
mengurangi informasi dari sebahagian objek yang diteliti. Proses pemilihan
citra dan cropping dilakukan menggunakan perangkat lunak N Capture 3.0
2.  Perhitungan Suhu Permukaan Laut  (SPL) : Kanal yang dipakai untuk
memperoleh nilai SPL adalah kanal 4 dan 5 dari satelit NOAA-14/AVHRR.
Nilai SPL diperoleh melalui konversi bilangan integer 8 bit  (dari citra kanal 4 
  4
dan 5 yang memiliki   digital number  0-255) ke dalam derajat celcius (
o
C)
dengan menggunakan perangkat lunak ILWIS  (Integrated Load and Water
Information System). 









































Mulai
Data Inderaja
NOAA kanal 4, 5
Data sekunder
- Oseanografi
- Data tangkapan ikan
Bebas
Awan
Tidak
Ya
Interpretasi digital dan
manual :
- Cropping
- Penajaman citra
- Formula SPL
- Koreksi geometrik
- Peta
- Grafik
- Tabel
Floting
Peta SPL
Citra digital
Konversi
raster ke
vektor
Layer
Analisis Spasial
Peta Daerah Penangkapan Ikan Potensial
SELESAI
Gambar 1. Teknik Pengumpulan data 
  5



2.3  Kendala Pemanfaatan Teknologi Penginderaan Jarak Jauh di  Indonesia
Pemanfaatan data penginderaan jarak jauh di Indonesia memiliki beberapa
kendala (kutipan makalah Aryo Handoyo dalam Hanggono, 1998) yaitu :
1.  Masalah liputan awan, dimana kita  ketahui bahwa keadaan alam tidak
selamanya sesuai dengan keadaan yang diinginkan sebagai syarat photo dari
citra yang baik.
2.  Kendala mixel (mix-pixel)
3.  Perbedaan renpon spectral dalam objek yang sama pada sebuah citra satelit
4.  Keterbatasan tersedianya data eksogen 
Dalam pemanfaatan data satelit NOAA-12 untuk perhitungan SPL dan
identifikasi data fishing ground. Diantara permasalahan di atas masalah liputan awan
dan ketersediaan data eksogen menjadi kendala utama dalam membantu
mengindetifikasi daerah tersebut. 
  Letak negara Indonesia yang membentang di sepanjang ekuator dalam iklim
tropis ternyata menyebabkan sulitnya perolehan data satelit. Sebagai ilustrasi dalam
SATTIN project (satellite application technologi transfer in Indonesia), upaya untuk
menghasilkan 176 lembar space map (peta  citra) berskala 1:50.000 di wilayah
Indonesia bagian timur, dibutuhkan lebih dari 7000 scenes citra SPOT yang diperoleh
dari satelit SPOT 1,2 dan 4. Dampak dari lliputan awan yang tinggi adalah sulitnya
memperoleh citar (untuk daerah-daerah tertentu) hal ini terutama terjadi pada musim
hujan dengan liputan awan kurang dari 10%. Dalam penangkapan ikan di laut dengan
bantuan satelit penginderaan jauh, kendala umum yang dihadapi adalah keberadaan
daerah fishing ground yang bersifat dinamis/berpindah-pindah mengikuti pergerakan
ikan. Secara alami ikan akan memilih daerah yang lebih sesuai, sedangkan habitat 
tersebut sangat dipengaruhi oleh kondisi oceanografi perairan, sehingga dengan
demikian perlu dilakukan pemanfaatan secara terus menerus dan berkelanjutan.
  Pemanfaatan satelit dengan sensor  optik seperti sateli NOAA-AVHRR juga
sangat terpengaruh dengan liputan awan. Dengan demikian kondisi permukaan laut
tidak dapat dipantau pada saat tertutup  awan. Dengan alasan ini penggunaan data
satelit  yang dihasilkan dengan melalui system pencitraan radar, seperti citra satelit
TOPEX menjadi sangat membantu  dalam mengupayakan estimasi daerah  fishing
ground, yang artinya pengunaan citra ini  akan semakin akurat apabila
dikombinasikan dengan penggunaan satelit lain.
  Data eksogen  yang berupa peta seringkali sangat membantu dalam kegiatan
verifikasi citra, tersedianya peta-peta distribusi salinitas, konsentrasi fitoplankton,
peta sebaran jenis ikan dan lain-lain, akan memudahkan seorang interpreter dalam
melakukan ektraksi informasi dari sebuah citra satelit. Terbatasnya ketersediaan peta-
peta termatik dan informasi lainnya dapat dianggap sebagai salah satu kendala dalam
pemanfaatan citra satelit NOAA-AVHRR di Indonesia

 
  6


3.  HASIL ANALISIS PENGGUNAAN CITRA
3.1. Waktu Akusisi Data Satelit
Satelit NOAA-AVHRR yang mengorbit polar didesain untuk dapat memantau
permukaan bumi dalam skala luas. Satelit NOAA ditargetkan dapat meliputi seluruh
permukaan bumi dengan bergerak dari selatan ke utara pada orbitnya di satu sisi bumi
(ascending pass) dan kebalikannya dari utara ke selatan pada sisi bumi yang lainnya
(descending pass)  Untuk wilayah Indonesia, dalam satu kali liputannya satelit
NOAA-AVHRR dapat mencakup luasan maksimum 2048 pixel. Sebuah pixel citra
satelit NOAA-AVHRR berukuran 1,1 km X 1,1 km. Dengan demikian hanyadalam
satu kali orbita luas daerah Indonesia sebesar 2/3 dapat diliput.
Dalam satu hari kurang lebih 24 jam, groun station  satelit NOAA_AVHRR 
milik BPPT dapat menerima minimal 2 cita dan maksimal 4 citra untuk daerah yang
berbeda yaitu dua data dari  ascending orbit  dan dua citra dari  descending orbit.
Untuk seri satelit NOAA-12 data  ascending   diterima pada sore dan malam hari,
sedangkan data descending diperoleh pada saat subuh dan pagi hari.

3.2. Kondisi Liputan Awan
Sensor AVHRR yang dibawa  oleh satelit NOAA adalah  multi spectral
scanner dengan lima band pada panjang gelombang yang berbeda, mulai dari sinar
tampak dan  far infrared(infrared jauh). Band 2 lebih sesuai digunakan untuk
mengobservasi bumi (dalam bentuk (quick look) pada siang hari. Sedangkan band 3
lebih bagus digunakan untuk menampilkan  quick look  pada malam hari. Dengan
menggunakan kedua band spectral ini kita dapat melihat kondisi/data secara cepat,
sehingga dapat dianalisis dengan cepat termasuk kondisi awan.
Sebagaimana umumnya sensor yang berkerja pada sinar tampak dan infra
merah, sensor AVHRR tidak dapat menembus awan sehingga pada saat mengorbit di
atas lokasi yang tertutup awan sensor AVHRR tidak dapat mendeteksi kondisi
perairan yang ada di bawahnya. Untuk wilayah Indonesia liputan awan terbanyak
umumnya terjadi pada saat musim hujan yang biasanya berlangsung antara bulan
oktober sampai bulan februari. Liputan  awan pada musim hujan  tidak hanya
menutupi wilayah di daratan saja, namun juga wilayah perairan/lautnya. Ada saat
musim hujan bukan hanya daerah yang tertutup awan saja yang tidak dapat diolah
lebih lanjut, tetapi data yang tertutup awan tipis dan daerah bayangan awan  juga
tidak dapat diekstrak informasinya. Sehingga pada periode musim hujan sngat sedikit
citra yang dapat dimanfaatkan untuk dianalisis lebih lanjut menjadi citra suhu
permukaan laut (SPL) yang menjadi dasar pemetaan daerah penagkapan ikan.

3.3. Pemilihan Data
Data terpilih adalah data hasil akusisi, baik pada saat  ascending orbit (data
pada saat sore dan malam hari) maupun data ascending orbit  (data pada saat subuh
dan pagi hari) yang bebas awan atau sedikit berawan pada lokaisi yang sedang 
  7
diamati. Untuk itu ditetapkan kriteria  bahwa citra satelit yang digunakan adalah citra
citra yang tutupan awannya tidak lebih dari 50% untuk masing-masing daerah yang
diamati. Dari data  BPPT sampai pada akhir februari 2002 data satelit NOAA-
AVHRR yang dapat diakusisi mencapai 152 citra (raw data). Data ini merupakan
data akusisi global  yang meliputi daerah Indonesia bagian barat sampai bagian
tengah dengan luas cakupan  2048 pixel. Sekitar 52% data yang dapat diakusisi tadi
tertutup awan, dengan luasan tutupan awan 75% sehingga tidak dapat dimanfaatkan
sama sekali. Sedangkan sisanya sebanyak 75 data lagi dapat dimanfaatkan. Sehingga
dengan demikian kita dapat membuat estimasi manfaat dari penggunaan data ini,
terutam ditinjau dari resiko dalam pengambilan datanya (raw data), contoh data akan
ditampilkan di bawah ini :
Tabel 1. Jumlah data Satelit NOAA-AVHRR Januari-Februari 2000.
 Daerah Pengamatan  Raw Data  Berawan
banyak
Berawan
Sedikit
Barat Sumatera-selat Sunda  44  23  21
Selat jawa dan Laut Jawa  31  22  9
Selat Makasar dan Flores  32  10  22
Nusatenggara dan L Timor  26  16  10
Perairan Kendari dan L. Banda  19  6  13
Jumlah                                     75
Dengan demikian  data terpilih yang ada di atas saja yang akan digunakan
dalam menganalisis daerah potensila  fishing ground. Berdasarkan hasil pengamatan
kendati data yang diberikan ini sudah dapat digunakan, namun beberapa daerah
khususnya daerah terpencil seperti SIBOLGA masih belum menggunkan data ini, hal
ini menjadi salah satu akibat kurangnya sosialisasi terhadap penggunaan data tersebut.

3.4. Peta Daerah Potensi Penangkapan Ikan
Peta  fishing ground  yang ada di daerah Indonesia dibuat berdasarkan
informasi suhu permukaan laut yang merupakan salah satu parameter lingkungan laut
dalam menentukan lokasi  front di wilayah terbuka dan diduga berkaitan dengan
tingkah laku ikan. Informasi ini akan diperoleh dari hasil pemrosesan data satelit
NOAA-AVHRR yang terpilih dan bebas/sedikit dari tutupan awan. Seperti yang
digambarkan dalam proses pengambilan data dan pengolahan data, tahapan-tahapan
diatas telah termasuk tahapan : 
1.  Konversi data mentah menjadi parameter fisis
2.  Koreksi atmosferik
3.  Deteksi dan eliminasi awan
Pada hakekatnya pemrosesan data untuk mendapatkan peta  fishing ground  adalah
pemrosesan data untuk menghasilkan temperatur menggunakan sensor  thermal
infrared AVHRR. 
  Proses lanjutan yang dilakukan sebelum peta potensi tangkapan ikan adalah
tes akurasi algoritma yang digunakan untuk menentukan ketepatan  suhu permukaan
laut (SPL) untuk setiap pixelnya, yang  layak sebagai dasar pemetaan daerah 
  8
tangkapan ikan. Untuk mendukung tuntutan ini, peralatan stasiun bumi penerima data
satelit di BPPT diengkapi dengan  local application of remote sensing techniques
(LARST). Sistem ini terdiri atas sebuah motor  penggerak antara  horn, Sebuah
receiver AVHRR dan dua buah personal komputer dengan card penghubung satelit
dan ekstra  random access memory  (RAM). Dari semua data yang telah dipotong
(yang bebas awan) hanya sebagian saja  yang akan diinterpretasikan dan akan
mendapatkan indikasi front yang digunakan sebagai dasar pendugaan lokasi potensial
untuk daerah penangkapan ikan (fishing ground)
  Data yang telah berisi  informasi indikator dugaan daerah  fishing ground
seperti yang dipaparkan sebelumnya akan ditambahkan dengan informasi lain yang
berasal dari peta topografi  (wilayah perairan) dan data  in-situ lain yang dimiliki,
selanjutnya akan ditampilkan secara kartografis sebagai peta berefrensi geografis.
Data ini akan semakin mudah untuk dipakai oleh masyarakat, khususnya nelayan
yang menangkap ikan pelagis di sepanjang perairan Indonesia. 

3.5. Penggunaan Data  Satelit NOAA dalam Masyarakat Pesisir 
Setelah mendapatkan data dalam bentuk peta kartografi maka diharapkan
data ini dapat diakses keberbagai lapisan masyarakat yang membutuhkannya. Sejauh
yang kita lihat bahwa saat ini masyarakat Indonesia kurang begitu mengenal aplikasi
dan pemanfaatan dari data ini. Hal ini dapat dilihat sebagai salah satu faktor penyebab
keterlambatan majunya dunia perikanan kita, terutama nelayan-nelayan kecil. 
Seperti yang kita ketahui bahwa pemanfaatan teknologi inderaja ini tidak
hanya dipakai oleh negara kita melainkan  juga dinikmati oleh  negara-negara lain.
Kita mengetahui bahwa penggunaan data citra satelit telah memajukan negara-negara
perikanan yang ada di sekitar perairan Indonesia, seperti Thailand yang sering sekali
melakukan pencurian ikan di sekitar perairan kita. Dari sudut pandang inilah
diharapkan pemerintah mau turut membantu penyampaian informasi sampai pada
lapisan paling bawah. Dengan adanya informasi ini maka kehidupan nelayan dapat
lebih ditingkatkan.
Selain kendala dalam sosialisasi data kartografi, kendala teknologi manjadi
salah satu pemicu mengapa pemanfaatan sumberdaya perikanan di negara kita kurang
begitu optimum. Saya coba menggambarkan bahwa di perairan Samudera Hindia
memiliki daerah fishing ground  yang relatif jauh, sehingga dibutuhkan tenaga mesin
kapal yang lebih besar. Hal inilah yang belum dimiliki oleh semua masyarakat
nelayan di kawasan pesisir kita. Thailand mampu melakukan pencurian dan dapat
melarikan diri dari kejaran aparat karena mereka memiliki kemampuan dalam hal
teknologi perkapalan. Dimasa yang akan datang penggunaan citra akan semakin
optimal bila kita bisa memadukannya dengan teknologi kapal yang juga memenuhi
syarat. Ada banyak cara yang bisa kita lakukan untuk memajukan perikanan di
kawasan perairan Indonesia, yang menjadi pertanyaan bagaimana peran serta
pemerintah, lembaga-lembaga masyarakat (LSM) dan bantuan seluruh masyarakat  
untuk saling membantu.
Kendala klasik yang menghambat perkembangan teknologi ini adalah,
paradigma masyarakat pesisir cenderung untuk tidak mau diajari, seperti yang saya
lihat di Sibolga bahwa masyarakat pesisir di Sibolga khususnya nelayan penangkap 
  9
ikan pelagis, tidak mau memanfaatkan data ini karena merasa bahwa diri mereka
telah mampu/pintar dalam hal menangkap ikan. Di sinilah peran serta pemerintah
harus lebih peka lagi dalam menghadapi masyarakat yang terbelakang. Mereka selalu
merasa bahwa teknologi memiliki harga yang sangat mahal, sehingga mereka merasa
dirugikan. Bila mereka berpandangan  lebih jauh bahwa biaya bensin yang mereka
keluarkan untuk mencari daerah fishing ground jauh lebih besar dibandingkan dengan
meminta data peta kartografi daerah fishing ground yang telah tersedia.

4. KESIMPULAN
Dengan semakin berkembangnya teknologi informasi maka diharapkan peran
serta masyarakat untuk mau belajar  mengkonsumsi teknologi tersebut lebih
ditingkatkan. Remote sensing adalah salah satu solusi  yang dapat digunakan dalam
pemanfaatan sumberdaya perikanan kita  secara optimum, karena kita mengetahui
dengan jelas bahwa salah satu kendala pemanfaatan sumberdaya alam kita secara
terpadu adalah kurangnya ketertarikan  kita terhadap dunia teknologi. Salah satu
daerah yang belum menggunakan  data kartografi daerah  fishing ground  adalah
Sibolga. Untuk itu diharapkan kedepannya dengan pemanfaatan teknologi  remote
sensing maka pengembangan produktifitas perikanan khususnya di daerah dapat lebih
ditingkatkan.
NOAA-AVHRR sebagai salah satu alternatif penggunaan  remote sensing
dalam dunia perikanan, dimana dengan adanya satelit NOAA-AVHRR ini diharapkan
kita dapat mengetahui daerah penangkapan ikan, khususnya dengan menggunakan
parameter suhu perairan (SPL). Kita harus menyadari bahwa semua yang ada di dunia
ini tidak sempurna, begitu pula dengan kondisi penggunaan satelit NOAA-AVHRR
yang sangat bergantung pada cuaca. Dengan mengkaji berbagai kelemahan satelit ini,
maka kita mencoba untuk menggabungkan satelit  ini dengan data dari satelit  lain
dalam pengaplikasiannya, sehingga estimasi  tempat yang diberikan lebih mendekati
daerah  fishing ground yang sebenarnya. Sebagai akhir dari tulisan ini, yang menjadi
pertanyaan bagaimana kita mampu menerapkannya serta bagaimana peran serta
pemerintah dalam menghimpun masyarakat pesisir yang sangat majemuk dengan
berbagai idealismenya masing-masing.




DAFTAR PUSTAKA

Hanggono. 1998. Pemanfaatan Teknologi Remote Sensing Dalam Penentuan Daerah
Penangkapan (Fishing Ground) di Indonesia. Makalah Ilmiah.

Thomas M., Lillesand and Ralph W., Kiefer. 1997. Penginderaan Jauh dan
Interpretasi Citra. Gajah Mada University Press.

Ekosistem

Ekosistem merupakan suatu interaksi yang kompleks dan memiliki penyusun yang beragam. Di bumi ada bermacam-macam ekosistem.
1. Susunan Ekosistem
Dilihat dari susunan dan fungsinya, suatu ekosistem tersusun atas komponen sebagai berikut.
a. Komponen autotrof
(Auto = sendiri dan trophikos = menyediakan makan).
Autotrof adalah organisme yang mampu menyediakan/mensintesis makanan sendiri yang berupa bahan organik dari bahan anorganik dengan bantuan energi seperti matahari dan kimia. Komponen autotrof berfungsi sebagai produsen, contohnya tumbuh-tumbuhan hijau.
b. Komponen heterotrof
(Heteros = berbeda, trophikos = makanan).
Heterotrof merupakan organisme yang memanfaatkan bahan-bahan organik sebagai makanannya dan bahan tersebut disediakan oleh organisme lain. Yang tergolong heterotrof adalah manusia, hewan, jamur, dan mikroba.
c. Bahan tak hidup (abiotik)
Bahan tak hidup yaitu komponen fisik dan kimia yang terdiri dari tanah, air, udara, sinar matahari. Bahan tak hidup merupakan medium atau substrat tempat berlangsungnya kehidupan, atau lingkungan tempat hidup.
d. Pengurai (dekomposer)
Pengurai adalah organisme heterotrof yang menguraikan bahan organik yang berasal dari organisme mati (bahan organik kompleks). Organisme pengurai menyerap sebagian hasil penguraian tersebut dan melepaskan bahan-bahan yang sederhana yang dapat digunakan kembali oleh produsen. Termasuk pengurai ini adalah bakteri dan jamur.
2. Macam-macam Ekosistem
Secara garis besar ekosistem dibedakan menjadi ekosistem darat dan ekosistem perairan. Ekosistem perairan dibedakan atas ekosistem air tawar dan ekosistem air Laut.
a. Ekosistem darat
Ekosistem darat ialah ekosistem yang lingkungan fisiknya berupa daratan. Berdasarkan letak geografisnya (garis lintangnya), ekosistem darat dibedakan menjadi beberapa bioma, yaitu sebagai berikut.
1. Bioma gurun
Beberapa Bioma gurun terdapat di daerah tropika (sepanjang garis balik) yang berbatasan dengan padang rumput.
Ciri-ciri bioma gurun adalah gersang dan curah hujan rendah (25 cm/tahun). Suhu slang hari tinggi (bisa mendapai 45°C) sehingga penguapan juga tinggi, sedangkan malam hari suhu sangat rendah (bisa mencapai 0°C). Perbedaan suhu antara siang dan malam sangat besar. Tumbuhan semusim yang terdapat di gurun berukuran kecil. Selain itu, di gurun dijumpai pula tumbuhan menahun berdaun seperti duri contohnya kaktus, atau tak berdaun dan memiliki akar panjang serta mempunyai jaringan untuk menyimpan air. Hewan yang hidup di gurun antara lain rodentia, ular, kadal, katak, dan kalajengking.
2. Bioma padang rumput
Bioma ini terdapat di daerah yang terbentang dari daerah tropik ke subtropik. Ciri-cirinya adalah curah hujan kurang lebih 25-30 cm per tahun dan hujan turun tidak teratur. Porositas (peresapan air) tinggi dan drainase (aliran air) cepat. Tumbuhan yang ada terdiri atas tumbuhan terna (herbs) dan rumput yang keduanya tergantung pada kelembapan. Hewannya antara lain: bison, zebra, singa, anjing liar, serigala, gajah, jerapah, kangguru, serangga, tikus dan ular
3. Bioma Hutan Basah
Bioma Hutan Basah terdapat di daerah tropika dan subtropik.
Ciri-cirinya adalah, curah hujan 200-225 cm per tahun. Species pepohonan relatif banyak, jenisnya berbeda antara satu dengan yang lainnya tergantung letak geografisnya. Tinggi pohon utama antara 20-40 m, cabang-cabang pohon tinngi dan berdaun lebat hingga membentuk tudung (kanopi). Dalam hutan basah terjadi perubahan iklim mikro (iklim yang langsung terdapat di sekitar organisme). Daerah tudung cukup mendapat sinar matahari. Variasi suhu dan kelembapan tinggi/besar; suhu sepanjang hari sekitar 25°C. Dalam hutan basah tropika sering terdapat tumbuhan khas, yaitu liana (rotan), kaktus, dan anggrek sebagai epifit. Hewannya antara lain, kera, burung, badak, babi hutan, harimau, dan burung hantu.
4. Bioma hutan gugur
Bioma hutan gugur terdapat di daerah beriklim sedang,
Ciri-cirinya adalah curah hujan merata sepanjang tahun. Terdapat di daerah yang mengalami empat musim (dingin, semi, panas, dan gugur). Jenis pohon sedikit (10 s/d 20) dan tidak terlalu rapat. Hewannya antara lain rusa, beruang, rubah, bajing, burung pelatuk, dan rakoon (sebangsa luwak).
5. Bioma taiga
Bioma taiga terdapat di belahan bumi sebelah utara dan di pegunungan daerah tropik. Ciri-cirinya adalah suhu di musim dingin rendah. Biasanya taiga merupakan hutan yang tersusun atas satu spesies seperti konifer, pinus, dap sejenisnya. Semak dan tumbuhan basah sedikit sekali. Hewannya antara lain moose, beruang hitam, ajag, dan burung-burung yang bermigrasi ke selatan pada musim gugur.
6. Bioma tundra
Bioma tundra terdapat di belahan bumi sebelah utara di dalam lingkaran kutub utara dan terdapat di puncak-puncak gunung tinggi. Pertumbuhan tanaman di daerah ini hanya 60 hari. Contoh tumbuhan yang dominan adalah Sphagnum, liken, tumbuhan biji semusim, tumbuhan kayu yang pendek, dan rumput. Pada umumnya, tumbuhannya mampu beradaptasi dengan keadaan yang dingin.
Hewan yang hidup di daerah ini ada yang menetap dan ada yang datang pada musim panas, semuanya berdarah panas. Hewan yang menetap memiliki rambut atau bulu yang tebal, contohnya muscox, rusa kutub, beruang kutub, dan insekta terutama nyamuk dan lalat hitam.
b. Ekosistem Air Tawar
Ciri-ciri ekosistem air tawar antara lain variasi suhu tidak menyolok, penetrasi cahaya kurang, dan terpengaruh oleh iklim dan cuaca. Macam tumbuhan yang terbanyak adalah jenis ganggang, sedangkan lainnya tumbuhan biji. Hampir semua filum hewan terdapat dalam air tawar. Organisme yang hidup di air tawar pada umumnya telah beradaptasi.
Adaptasi organisme air tawar adalah sebagai berikut.
Adaptasi tumbuhan
Tumbuhan yang hidup di air tawar biasanya bersel satu dan dinding selnya kuat seperti beberapa alga biru dan alga hijau. Air masuk ke dalam sel hingga maksimum dan akan berhenti sendiri. Tumbuhan tingkat tinggi, seperti teratai (Nymphaea gigantea), mempunyai akar jangkar (akar sulur). Hewan dan tumbuhan rendah yang hidup di habitat air, tekanan osmosisnya sama dengan tekanan osmosis lingkungan atau isotonis.
Adaptasi hewan
Ekosistem air tawar dihuni oleh nekton. Nekton merupakan hewan yang bergerak aktif dengan menggunakan otot yang kuat. Hewan tingkat tinggi yang hidup di ekosistem air tawar, misalnya ikan, dalam mengatasi perbedaan tekanan osmosis melakukan osmoregulasi untuk memelihara keseimbangan air dalam tubuhnya melalui sistem ekskresi, insang, dan pencernaan.
Habitat air tawar merupakan perantara habitat laut dan habitat darat. Penggolongan organisme dalam air dapat berdasarkan aliran energi dan kebiasaan hidup.
1. Berdasarkan aliran energi, organisme dibagi menjadi autotrof (tumbuhan), dan fagotrof (makrokonsumen), yaitu karnivora predator, parasit, dan saprotrof atau organisme yang hidup pada substrat sisa-sisa organisme.
2. Berdasarkan kebiasaan hidup, organisme dibedakan sebagai berikut.
a. Plankton;
terdiri alas fitoplankton dan zooplankton;
biasanya melayang-layang (bergerak pasif) mengikuti gerak aliran air.
b. Nekton;
hewan yang aktif berenang dalam air, misalnya ikan.
c. Neuston;
organisme yang mengapung atau berenang di permukaan air atau
bertempat pada permukaan air, misalnya serangga air.
d. Perifiton; merupakan tumbuhan atau hewan yang melekat/bergantung
pada tumbuhan atau benda lain, misalnya keong.
e. Bentos; hewan dan tumbuhan yang hidup di dasar atau hidup pada
endapan. Bentos dapat sessil (melekat) atau bergerak bebas,
misalnya cacing dan remis. Lihat Gambar.
Ekosistem air tawar digolongkan menjadi air tenang dan air mengalir. Termasuk ekosistem air tenang adalah danau dan rawa, termasuk ekosistem air mengalir adalah sungai.
1. Danau
Danau merupakan suatu badan air yang menggenang dan luasnya mulai dari beberapa meter persegi hingga ratusan meter persegi.
Gbr. Berbagai Organisme Air Tawar
Berdasarkan Cara Hidupnya
Di danau terdapat pembagian daerah berdasarkan penetrasi cahaya matahari. Daerah yang dapat ditembus cahaya matahari sehingga terjadi fotosintesis disebut daerah fotik. Daerah yang tidak tertembus cahaya matahari disebut daerah afotik. Di danau juga terdapat daerah perubahan temperatur yang drastis atau termoklin. Termoklin memisahkan daerah yang hangat di atas dengan daerah dingin di dasar.
Komunitas tumbuhan dan hewan tersebar di danau sesuai dengan kedalaman dan jaraknya dari tepi. Berdasarkan hal tersebut danau dibagi menjadi 4 daerah sebagai berikut.
a) Daerah litoral
Daerah ini merupakan daerah dangkal. Cahaya matahari menembus dengan optimal. Air yang hangat berdekatan dengan tepi. Tumbuhannya merupakan tumbuhan air yang berakar dan daunnya ada yang mencuat ke atas permukaan air.
Komunitas organisme sangat beragam termasuk jenis-jenis ganggang yang melekat (khususnya diatom), berbagai siput dan remis, serangga, krustacea, ikan, amfibi, reptilia air dan semi air seperti kura-kura dan ular, itik dan angsa, dan beberapa mamalia yang sering mencari makan di danau.
b. Daerah limnetik
Daerah ini merupakan daerah air bebas yang jauh dari tepi dan masih
dapat ditembus sinar matahari. Daerah ini dihuni oleh berbagai
fitoplankton, termasuk ganggang dan sianobakteri. Ganggang
berfotosintesis dan bereproduksi dengan kecepatan tinggi selama
musim panas dan musim semi.
Zooplankton yang sebagian besar termasuk Rotifera dan udang-
udangan kecil memangsa fitoplankton. Zooplankton dimakan oleh ikan-
ikan kecil. Ikan kecil dimangsa oleh ikan yang lebih besar, kemudian
ikan besar dimangsa ular, kura-kura, dan burung pemakan ikan.
c. Daerah profundal
Daerah ini merupakan daerah yang dalam, yaitu daerah afotik danau.
Mikroba dan organisme lain menggunakan oksigen untuk respirasi
seluler setelah mendekomposisi detritus yang jatuh dari daerah
limnetik. Daerah ini dihuni oleh cacing dan mikroba.
d. Daerah bentik
Daerah ini merupakan daerah dasar danau tempat terdapatnya bentos
dan sisa-sisa organisme mati.
Gbr. Empat Daerah Utama Pada Danau Air Tawar
Danau juga dapat dikelompokkan berdasarkan produksi materi organik-nya, yaitu sebagai berikut :
a. Danau Oligotropik
Oligotropik merupakan sebutan untuk danau yang dalam dan
kekurangan makanan, karena fitoplankton di daerah limnetik tidak
produktif. Ciricirinya, airnya jernih sekali, dihuni oleh sedikit organisme,
dan di dasar air banyak terdapat oksigen sepanjang tahun.
b. Danau Eutropik
Eutropik merupakan sebutan untuk danau yang dangkal dan kaya akan
kandungan makanan, karena fitoplankton sangat produktif. Ciri-cirinya
adalah airnya keruh, terdapat bermacam-macam organisme, dan
oksigen terdapat di daerah profundal.
Danau oligotrofik dapat berkembang menjadi danau eutrofik akibat adanya materi-materi organik yang masuk dan endapan. Perubahan ini juga dapat dipercepat oleh aktivitas manusia, misalnya dari sisa-sisa pupuk buatan pertanian dan timbunan sampah kota yang memperkaya danau dengan buangan sejumlah nitrogen dan fosfor. Akibatnya terjadi peledakan populasi ganggang atau blooming, sehingga terjadi produksi detritus yang berlebihan yang akhirnya menghabiskan suplai oksigen di danau tersebut.
Pengkayaan danau seperti ini disebut “eutrofikasi”. Eutrofikasi membuat air tidak dapat digunakan lagi dan mengurangi nilai keindahan danau.
2. Sungai
Sungai adalah suatu badan air yang mengalir ke satu arah. Air sungai dingin dan jernih serta mengandung sedikit sedimen dan makanan. Aliran air dan gelombang secara konstan memberikan oksigen pada air. Suhu air bervariasi sesuai dengan ketinggian dan garis lintang.
Komunitas yang berada di sungai berbeda dengan danau. Air sungai yang mengalir deras tidak mendukung keberadaan komunitas plankton untuk berdiam diri, karena akan terbawa arus. Sebagai gantinya terjadi fotosintesis dari ganggang yang melekat dan tanaman berakar, sehingga dapat mendukung rantai makanan.
Komposisi komunitas hewan juga berbeda antara sungai, anak sungai, dan hilir. Di anak sungai sering dijumpai Man air tawar. Di hilir sering dijumpai ikan kucing dan gurame. Beberapa sungai besar dihuni oleh berbagai kura-kura dan ular. Khusus sungai di daerah tropis, dihuni oleh buaya dan lumba-lumba.
Organisme sungai dapat bertahan tidak terbawa arus karena mengalami adaptasi evolusioner. Misalnya bertubuh tipis dorsoventral dan dapat melekat pada batu.
Beberapa jenis serangga yang hidup di sisi-sisi hilir menghuni habitat kecil yang bebas dari pusaran air.
c. Ekosistem air laut
Ekosistem air laut dibedakan atas lautan, pantai, estuari, dan terumbu karang.
1. Laut
Habitat laut (oseanik) ditandai oleh salinitas (kadar garam) yang tinggi dengan ion CI- mencapai 55% terutama di daerah laut tropik, karena suhunya tinggi dan penguapan besar. Di daerah tropik, suhu laut sekitar 25°C. Perbedaan suhu bagian atas dan bawah tinggi. Batas antara lapisan air yang panas di bagian atas dengan air yang dingin di bagian bawah disebut daerah termoklin.
Di daerah dingin, suhu air laut merata sehingga air dapat bercampur, maka daerah permukaan laut tetap subur dan banyak plankton serta ikan. Gerakan air dari pantai ke tengah menyebabkan air bagian atas turun ke bawah dan sebaliknya, sehingga memungkinkan terbentuknya rantai makanan yang berlangsung balk. Habitat laut dapat dibedakan berdasarkan kedalamannya dan wilayah permukaannya secara horizontal.
1. Menurut kedalamannya, ekosistem air laut dibagi sebagai berikut.
a. Litoral merupakan daerah yang berbatasan dengan darat.
b. Neretik merupakan daerah yang masih dapat ditembus cahaya
matahari sampai bagian dasar dalamnya ± 300 meter.
c. Batial merupakan daerah yang dalamnya berkisar antara 200-2500 m
d. Abisal merupakan daerah yang lebih jauh dan lebih dalam dari
pantai (1.500-10.000 m).
2. Menurut wilayah permukaannya secara horizontal, berturut-turut dari
tepi laut semakin ke tengah, laut dibedakan sebagai berikut.
a. Epipelagik merupakan daerah antara permukaan dengan kedalaman
air sekitar 200 m.
b. Mesopelagik merupakan daerah dibawah epipelagik dengan kedalam
an 200-1000 m. Hewannya misalnya ikan hiu.
c. Batiopelagik merupakan daerah lereng benua dengan kedalaman
200-2.500 m. Hewan yang hidup di daerah ini misalnya gurita.
d. Abisalpelagik merupakan daerah dengan kedalaman mencapai
4.000m; tidak terdapat tumbuhan tetapi hewan masih ada. Sinar
matahari tidak mampu menembus daerah ini.
e. Hadal pelagik merupakan bagian laut terdalam (dasar). Kedalaman
lebih dari 6.000 m. Di bagian ini biasanya terdapat lele laut dan
ikan Taut yang dapat mengeluarkan cahaya. Sebagai produsen di
tempat ini adalah bakteri yang bersimbiosis dengan karang
tertentu.
Di laut, hewan dan tumbuhan tingkat rendah memiliki tekanan osmosis sel yang hampir sama dengan tekanan osmosis air laut. Hewan tingkat tinggi beradaptasi dengan cara banyak minum air, pengeluaran urin sedikit, dan pengeluaran air dengan cara osmosis melalui insang. Garam yang berlebihan diekskresikan melalui insang secara aktif.
2. Ekosistem pantai
Ekosistem pantai letaknya berbatasan dengan ekosistem darat, laut, dan daerah pasang surut.
Ekosistem pantai dipengaruhi oleh siklus harian pasang surut laut. Organisme yang hidup di pantai memiliki adaptasi struktural sehingga dapat melekat erat di substrat keras.
Daerah paling atas pantai hanya terendam saat pasang naik tinggi. Daerah ini dihuni oleh beberapa jenis ganggang, moluska, dan remis yang menjadi konsumsi bagi kepiting dan burung pantai.
Daerah tengah pantai terendam saat pasang tinggi dan pasang rendah. Daerah ini dihuni oleh ganggang, porifera, anemon laut, remis dan kerang, siput herbivora dan karnivora, kepiting, landak laut, bintang laut, dan ikan-ikan kecil.
Daerah pantai terdalam terendam saat air pasang maupun surut. Daerah ini dihuni oleh beragam invertebrata dan ikan serta rumput laut.
Komunitas tumbuhan berturut-turut dari daerah pasang surut ke arah darat dibedakan sebagai berikut.
1. Formasi pes caprae
Dinamakan demikian karena yang paling banyak tumbuh di gundukan pasir adalah tumbuhan Ipomoea pes caprae yang tahan terhadap hempasan gelombang dan angin; tumbuhan ini menjalar dan berdaun tebal. Tumbuhan lainnya adalah Spinifex littorius (rumput angin), Vigna, Euphorbia atoto, dan Canaualia martina. Lebih ke arah darat lagi ditumbuhi Crinum asiaticum (bakung), Pandanus tectorius (pandan), dan Scaeuola Fruescens (babakoan).
2. Formasi baringtonia
Daerah ini didominasi tumbuhan baringtonia, termasuk di dalamnya Wedelia, Thespesia, Terminalia, Guettarda, dan Erythrina.
Bila tanah di daerah pasang surut berlumpur, maka kawasan ini berupa hutan bakau yang memiliki akar napas. Akar napas merupakan adaptasi tumbuhan di daerah berlumpur yang kurang oksigen. Selain berfungsi untuk mengambil oksigen, akar ini juga dapat digunakan sebagai penahan dari pasang surut gelombang. Yang termasuk tumbuhan di hutan bakau antara lain Nypa, Acathus, Rhizophora, dan Cerbera.
Jika tanah pasang surut tidak terlalu basah, pohon yang sering tumbuh adalah: Heriticra, Lumnitzera, Acgicras, dan Cylocarpus.
3. Estuari
Estuari (muara) merupakan tempat bersatunya sungai dengan laut. Estuari sering dipagari oleh lempengan lumpur intertidal yang luas atau rawa garam.
Salinitas air berubah secara bertahap mulai dari daerah air tawar ke laut. Salinitas ini juga dipengaruhi oleh siklus harian dengan pasang surut aimya. Nutrien dari sungai memperkaya estuari.
Komunitas tumbuhan yang hidup di estuari antara lain rumput rawa garam, ganggang, dan fitoplankton. Komunitas hewannya antara lain berbagai cacing, kerang, kepiting, dan ikan. Bahkan ada beberapa invertebrata laut dan ikan laut yang menjadikan estuari sebagai tempat kawin atau bermigrasi untuk menuju habitat air tawar. Estuari juga merupakan tempat mencari makan bagi vertebrata semi air, yaitu unggas air.
4. Terumbu karang
Di laut tropis, pada daerah neritik, terdapat suatu komunitas yang khusus yang terdiri dari karang batu dan organisme-organisme lainnya. Komunitas ini disebut terumbu karang. Daerah komunitas ini masih dapat ditembus cahaya matahari sehingga fotosintesis dapat berlangsung.
Terumbu karang didominasi oleh karang (koral) yang merupakan kelompok Cnidaria yang mensekresikan kalsium karbonat. Rangka dari kalsium karbonat ini bermacammacam bentuknya dan menyusun substrat tempat hidup karang lain dan ganggang.
Hewan-hewan yang hidup di karang memakan organisme mikroskopis dan sisa organik lain. Berbagai invertebrata, mikro organisme, dan ikan, hidup di antara karang dan ganggang. Herbivora seperti siput, landak laut, ikan, menjadi mangsa bagi gurita, bintang laut, dan ikan karnivora.
This entry was posted on Friday, January 22nd, 2010 at 12:20 pm and is filed under IPA. You can follow any responses to this entry through the RSS 2.0 feed. You can leave a response, or trackback from your own site.